Rabu, 24 Agustus 2011

Atresia Bilier



Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Gangguan ini meski jarang terjadi adalah kejadian yang biasa dalam dunia medis. Namun dalam waktu belakangan ini penyakit ini seakan menjadi primadona ketika Bilqis, seorang anak penderita atresia bilier diungkap secara berlebihan di media masa khususnya televisi. Namun “blow up” berita ini sangat positif bagi isu kesehatan anak khususnya penderita gangguan tersebut, daripada harus mengungkapkan secara berlebihan isu politik murahan yang malah mengadu domba masyarakat.

Tragisnya, sebagian besar bayi penderita atresia bilier akhirnya tidak tertolong lantaran tidak punya biaya untuk cangkok hati. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).

Ketika cangkok hati belum banyak bisa dilakukan di Indonesia. Sementara cangkok hati di luar negeri membutuhkan biaya miliaran rupiah. Jadi penanganan optimal bagi banyak penderita adalah masih impian.

Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi empedu.
Sumbata di saluran tertentu di sitem fungsi hati bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati. Mekanisme Terjadinya Gangguan Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.

Antara hati dan usus halus terdapat saluran yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya empedu yang diproduksi hati menuju usus. Jika saluran ini buntu, misalnya karena kelainan bawaan sejak lahir, disebut sebagai atresia bilier.

Empedu adalah cairan yang mengandung kolesterol, garam empedu, dan sampah metabolisme seperti bilirubin. Garam empedu berfungsi untuk memecah lemak yang kita konsumsi. Empedu akan dilepaskan dari jaringan hati dan untuk sementara mengalir dan ditampung oleh kandung empedu. Baru pada saat makan, cairan empedu dipompa masuk ke dalam usus halus.
Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi sumbatan itu adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier.

Jika saluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan timbul warna kuning di kulit dan mata (ikterus/jaundice) akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah.

Gejala

Gejala biasanya dapat dideteksi dalam waktu 2 minggu setelah lahir, biasanya gejala utamanya adalah kulit kuning yang berkepanjangan. Pada keadaan normal bayi baru lahir timbul kuning, pada keadaan atreasia bilier kuning yang terjadi berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
Gejala lain yang menyertai berupa air kemih bayi berwarna gelap, tinja berwarna pucat atau berwarna putih atau penambahan berat badan berlangsung lambat hati membesar.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gangguan pertumbuhan, kulit gatal-gatal, mudah terjadi rewel dan tekanan darah tinggi pada vena porta atau pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan adalah adanya tanda ikterus atau kuning pada kulit, pada mata dan di bawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar juga kadang disertai limpa membesar.

Langkah awal adalah menentukan gejala kuning yang ada harus dibedakan apakah kuning karena unconjugated ilirubin dan conjugated bilirubin. Ditentukan dengan pemeriksaan bilirubin, bila terdapat peningkatan bilirubin direk harus dicurigai conjugated bilirubinemia atau tertdapat sumbatan di sistem saluran hati dan empedu termasuk diantaranya atresia bilier.

Pemeriksaan yang biasa dilakukan pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan darah dilakukan pemeriksaan fungsi hati khususnya terdapat peningkatan kadar bilirubin direk. Disamping itu dilakukan pemeriksaan albumin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, GGT. Dan faktor pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah USG sistem hati dan empedu, Rontgen perut, Scintigrafi, Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif dengan memasukkan cairan tertentu ke jaringan empedu untuk mengetahui kondisi saluran empedu. Pemeriksaan yang juga penting adalah Biopsi hati, untuk melihat struktu organ hati apakah terdapat sirosis hati atau kompilkasi lainnya. Laparotomi biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan.

Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (operasi Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

Mengganggu Organ Tubuh

Bila atresia biler timbul berkepanjangan sangat beresiko terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

Pada Atresia Bilier berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
Gangguan pada metabolisme logam, terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan pembengkakan, vasokonstriksi, dan progresifitas sumbatan. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. Mekanisme kerusakan hati sekunder disebabkan karena asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na, K-ATPase, Mg-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.

Dalam proses imunologis, pada atresia bilier didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.’

dr Kasai

Pengobatan
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

Pasien hanya bisa menjalani prosedur kasai atau penyambungan usus ke hati. Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Selain itu, bila orangtua bayi berasal dari keluarga tidak mampu maka memperumit permaslahan karena tak bisa menyediakan uang yang cukup untuk biaya operasi dan cangkok hati. Penderita penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Pencangkokan (Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang donor kepada orang lain atau resipien. Atau transplantasi dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya misalnya pencangkokan hati, dengan tujuan mengembalikan fungsi hati yang telah hilang. Transplantasi bisa memberikan keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Transfusi darah merupakan jenis transplantasi yang paling sering dilakukan.

Angka keberhasilan transplantasi hati lebih rendah daripada transplantasi ginjal, tetapi 70-80% resipien bertahan hidup minimal selama 1 tahun. Mereka yang bertahan hidup kebanyakan adalah resipien yang hatinya telah mengalami kerusakan akibat sirosis bilier primer, hepatitis atau pemakaian obat yang merupakan racun bagi hati. Tansplantasi hati sebagai pengobatan untuk kanker hati jarang berhasil. Kanker biasanya kembali tumbuh pada hati yang dicangkokkan atau pada organ lainnya dan kurang dari 20% resipien yang bertahan hidup selama 1 tahun. Yang mengejutkan adalah bahwa reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi penolakan pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung). Tetapi setelah pembedahan harus diberikan obat immunosupresan. Jika resipien mengalami pembesaran hati, mual, nyeri, demam, sakit kuning atau terdapat kelainan fungsi hati yang dapat diketahui dari hasil pemeriskaan darah, maka bisa dilakukan biposi jarum. Hasil biopsi akan membantu menentukan apakah hati yang dicangkokkan telah ditolak dan apakah dosis obat immunosupresan harus ditingkatkan.

Transplantasi organ tubuh biasanya melibatkan pencarian donor yang sesuai, kemungkinan timbulnya resiko akibat pembedahan, pemakaian obat-obat immunosupresan yang poten, kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh resipien dan kemungkinan terjadinya komplikasi atau kematian. Untuk orang-orang yang organ vitalnya misalnya jantung, paru-paru, hati, ginjal atau sumsum tulang) sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya dan fungsinya tidak dapat kembali normal, maka transplantasi organ bisa merupakan satu-satunya peluang untuk bertahan hidup.

Jaringan atau organ yang didonorkan bisa berasal dari orang lain yang masih hidup maupun yang belum lama ini sudah meninggal. Yang lebih disukai adalah jaringan yang berasal dari orang yang masih hidup karena angka keberhasilannya tinggi. Tetapi jantung, hati, paru-paru dan komponen mata (kornea dan lensa) hanya bisa didapatkan dari seseorang yang baru saja meninggal dan biasanya akibat kecelakaan bukan karena sakit. Bagian dari jaringan hati juga telah ditransplantasikan dari beberapa donor yang masih hidup. Pencangkokan organ dari donor hidup dilakukan dalam waktu beberapa menit setelah organ diangkat. Beberapa organ hanya bertahan selama beberapa jam diluar tubuh; sedangkan organ lainnya dapat disimpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari.

Pencocokan Jaringan
Pencangkokan jaringan dan organ merupakan suatu proses yang rumit. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan akan menyerang dan menghancurkan jaringan asing (keadaan ini dikenal sebagai penolakan cangkokan). Untuk mengurangi beratnya penolakan tersebut, maka sebaiknya jaringan donor dan jaringan resipien harus memiliki kesesuaian yang semaksimal mungkin.

Untuk mencapai tingkai kesesuaian yang semaksimal mungkin, bilakukan penentuan jenis jaringan donor dan resipien. Antigen adalah zat yang dapat merangsang terjadinya suatu respon kekebalan, yang ditemukan pada permukaan setiap sel di tubuh manusia. Jika seseorang menerima jaringan dari donor, maka antien pada jaringan yang dicangkokkan tersebut akan memberi peringatan kepada tubuh resipien bahwa jaringan tersebut merupakan benda asing.
3 antigen spesifik pada permukaan sel darah merah adalah A, B dan Rh, yang menentukan apakah akan terjadi penolakan atau penerimaan pada suatu transfusi darah. Karena itu darah digolongkan berdasarkan ketiga jenis antigen tersebut.
Jaringan lainnya memiliki berbagai antigen, sehingg penyesuaian menjadi lebih mungkin terjadi. Sekelompok antigen yang disebut human leukocyte antigen (HLA) merupakan antigen yang paling penting pada pencangkokan jaringan lain selain darah. Semakin sesuai antigen HLAnya, maka kemungkinan besar pencangkokan akan berhasil.

Biasanya sebelum suatu organ dicangkokkan, jaringan dari donor dan resipien diperiksa jenis HLAnya. Pada kembar identik, antigen HLAnya benar-benar sama. Pada orang tua dan sebagian besar saudara kandung, beberapa memiliki antigen yang sama; 1 diantara 4 pasang saudara kandung memiliki antigen yang sama.

Penekanan Sistem Kekebalan

Meskipun jenis HLA agak mirip, tetapi jika sistem kekebalan resipien tidak dikendalikan, maka organ yang dicangkokkan biasanya ditolak.
Penolakan biasanya terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian.
Penolakan bisa bersifat ringan dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan maupun organ yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil, mual, lelah dan perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba.

Penemuan obat-obatan yang dapat menekan sistem kekebalan telah meningkatkan angka keberhasilan pencangkokkan.
Tetapi obat tersebut juga memiliki resiko. Pada saat obat menekan reaksi sistem kekebalan terhadap organ yang dicangkokkan, obat juga menghalangi perlawanan infeksi dan penghancuran benda asing lainnya oleh sistem kekebaln. Penekanan sistem kekebalan yang intensif biasanya hanya perlu dilakukan pada minggu-minggu pertama setelah pencangkokkan atau jika terlihat tanda-tanda penolakan. Berbagai jenis obat bisa bertindak sebagai immunosupresan. Yang sering digunakan adalah kortikosteroid (misalnya prednison); pada awalnya diberikan melalui infus kemudian dalam bentuk obat yang diminum. Obat lainnya adalah: Azatioprin, Takrolimus , Mikofenolat mofetil, Siklosporin , Siklofosfamid (terutama digunakan pada pencangkokkan sumsum tulang) , Globulin anti-limfosit dan globulin anti-timosit dan Antibodi monoklonal.

Deteksi dini dari kolestasis neonatal merupakan tantangan bagi dokter dan dokter spesialis anak. Kunci utama adalah pemahaman dan kecermatan pada bayi yang mengalami ikterus atau kuning pada usia diatas 2 minggu. Dengan ditemukannya peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi maka proses diagnosa untuk mencari penyebab harus segera dilakukan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam pengobatan maupun pembedahan. Kegagalan dalam deteksi dini penyebab sumbatan di sistem saluran empedu menyebabkan terlambatnya tindakan sehingga mempengaruhi prognosis.

Semoga atensi media dan upaya mengangkat permasalahan Bilqis harus terus dilanjutkan. Karena, ternyata masih banyak Bilqis-bilqis lain yang lebih berat masalah kesehatan yang dihadapi dan juga lebih membutuhkan bantuan dan kepedulian masyarakat karena masalah ekonomi yang dihadapinya.

Supported by

Koran Indonesia Sehat Yudhasmara Foundation

* Clinic For Children http://childrenclinic.wordpress.com/
* Children Allergy Clinic http://childrenallergyclinic.wordpress.com/
* Picky eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan Pada Anak) http://mypickyeaters.wordpress.com/


Copyright © 2010, Koran Indonesia Sehat Information Education Network. All rights

Minggu, 14 Agustus 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HNP (HERNIA NUKLEUS PULPOSUS)

I. Landasan teori
A. Pengertian
HNP adalah Suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 1996)
HNP adalah keadaan dimana nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudia menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosis yang robek.
B. Etiologi
HNP terjadi karena proses degenratif diskus intervetebralis
C. Insiden
Angka kejadi dan kesakitan banyak terjadi pada usia pertengahan. Pada umumnya HNP didahului oelh aktiivtas yang berlebihan, misalnya mengangkat beban berat (terutama mendadak) mendorong barang berat. Laki—laki lebih banyak dari pada wanita
D. gejala
Gejala utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan .
HNP terbagi atas :
1. HNP sentral
HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine
2. HNP lateral
Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah abtra pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki.Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus (straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif). Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .
E. patofisiologi
Pada umumnya HNP didahului oeleh aktiivta syang berat dengan keluahan utamanya adalah nyeri di punggung bawah disertai nyeri otot sekitar lesi dan nyeri tekan . Hal ini desebabkan oleh spasme otot-otot tersebut dan spasme menyebabkan mengurangnya lordosis lumbal dan terjadi skoliosis.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring
Penderita hrus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan sikap yang baik adalah sikap dalam posisi setengah duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul dan lutut. tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas/per dengan demikina tempat tidur harus dari papan yang larus dan diutu[ dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri punggung bawah mekanik akut. Lama tirah baring tergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan penderita. Pada HNP memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah berbaring dianggp cukup maka dilakukan latihan / dipasang korset untuk mencegah terjadinya kontraktur dan mengembalikan lagi fungsi-fungsi otot.

b. Medikamentosa
1. Symtomatik
Analgetik (salisilat, parasetamol), kortikosteroid (prednison, prednisolon), anti-inflamasi non-steroid (AINS) seperti piroksikan, antidepresan trisiklik ( amitriptilin), obat penenang minor (diasepam, klordiasepoksid).
2. Kausal
Kolagenese
c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermy (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang lebih dalam) untuk relaksasi otot dan mengurnagi lordosis.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, kambuh berulang atau terjadi defisit neurologik
3. Rehabilitasi
a. Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula
b. Agar tidak menggantungkan diri pada orang lain dalam melakkan kegiatan sehari-hari (the activity of daily living)
c. Klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi saluran kencing dan sebagainya).

II. konsep keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
HNP terjadi pada umur pertengahan, kebanyakan pada jenis kelamin pria dan pekerjaan atau aktivitas berat (mengangkat baran berat atau mendorong benda berat)
2. Keluahan Utama
Nyeri pada punggung bawah
P, trauma (mengangkat atau mendorong benda berat)
Q, sifat nyeri seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat, mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-menerus. Penyebaran nyeri apakah bersifat nyeri radikular atau nyeri acuan (referred fain). Nyeri tadi bersifat menetap, atau hilang timbul, makin lama makin nyeri .
R, letak atau lokasi nyeri menunjukkan nyeri dengan setepat-tepatnya sehingga letak nyeri dapat diketahui dengan cermat.
S, Pengaruh posisi tubuh atau atau anggota tubuh berkaitan dengan aktivitas tubuh, posisi yang bagaimana yang dapat meredakan rasa nyeri dan memperberat nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan rasa nyeri seperti berjalan, turun tangga, menyapu, gerakan yang mendesak. Obat-oabata yang ssedang diminum seperti analgetik, berapa lama diminumkan.
T Sifanya akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap, hilng timbul, makin lama makin nyeri.


3. Riwayat Keperawatan
a. Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma multipleks), metabolik (osteoporosis)
b. Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri punggung bawah

4. Status mental
Pada umumny aklien menolak bila langsung menanyakan tentang banyak pikiran/pikiran sedang (ruwet). Lebih bijakasana bila kita menanyakan kemungkinan adanya ketidakseimbangan mental secara tidak langsung (faktor-faktor stres)

5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum
 pemeriksaan tanda-tanda vital, dilengkapi pemeriksaan jantung, paru-paru, perut.
 Inspeksi
- inspeksi punggung, pantat dan tungkai dalam berbagai posisi dan gerakan untuk evalusi neyurogenik
- Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal,adanya angulus, pelvis ya ng miring/asimitris, muskulatur paravertebral atau pantat yang asimetris, postur tungkai yang abnormal.
- Hambatan pada pegerakan punggung , pelvis dan tungkai selama begerak.
- Klien dapat menegenakan pakaian secara wajar/tidak
- Kemungkinan adanya atropi, faskulasi, pembengkakan, perubahan warna kulit.
 palpasi dan perkusi
- paplasi dan perkusi harus dikerjakan dengan hati-hati atau halus sehingga tidak membingungkan klien
- Paplasi pada daerah yang ringan rasa nyerinya ke arah yang paling terasanyeri.
- Ketika meraba kolumnavertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-posterior
- Palpasi dna perkusi perut, distensi pewrut, kandung kencing penuh dll.
 Neuorologik
 Pemeriksaan motorik
- Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas, tungkai bawah, kaki, ibu jari dan jari lainnya dengan menyuruh klien unutk melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan.
- atropi otot pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan kanan-kiri.
- fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot tertentu.
 Pemeriksan sensorik
Pemeriksaan rasa raba, rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar (vibrasi) untuk menentukan dermatom mana yang terganggu sehingga dapat ditentuakn pula radiks mana yang terganggu.
 pemeriksaan refleks
- refleks lutut /patela/hammer (klien bebraring.duduk dengan tungkai menjuntai), pada HNP lateral di L4-5 refleks negatif.
- Rfleks tumit.achiles (klien dalam posisi berbaring , luutu posisi fleksi, tumit diletakkan diatas tungkai yang satunya dan ujung kaki ditahan dalam posisi dorsofleksi ringan, kemudian tendon achiles dipukul. Pada aHNP lateral 4-5 refleks ini negatif.
 Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan aktif atau pasif untuk memperkirakan derajat nyeri, functio laesa, atau untuk mememriksa ada/tidaknya penyebaran nyeri.

b. Pemeriksaan penunjang
 foto rontgen, Foto rontgen dari depan, samping, dan serong) untuk identifikasi ruang antar vertebra menyempit. Mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalu tindakan lumbal pungsi dan pemotrata dengan sinar tembus. Apabila diketahiu adanya penyumbatan.hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.
 Elektroneuromiografi (ENMG)
Untuk menegetahui radiks mana yang terkena / melihat adanya polineuropati.
 Sken tomografi
Melihat gambaran vertebra dan jaringan disekitarnya termasuk diskusi intervertebralis.
6. Penatalaksanaan
(lihat pada landsan teori)

7. Dignosa keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah pasien yang nyata ataupun potensial dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah pasien dapat ditanggulangi atau dikurangi. (Lismidar, 1990)
1) Nyeri berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervetebralis
2) Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi
3) Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia
4) Perubahan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
5) Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
6) Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama




DAFTAR PUSTAKA



Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC, Jakarta.

Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M.,1996, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.

Ignatavicius D.D., Bayne M.V., 1991, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Juwono, T., 1996, Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek, EGC, Jakarta.

Mardjono M., Sidharta P., 1981, Neurologi Klinis Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta.

Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

INFARK MIOKARD AKUT



A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Miokard infark adalah kematian otot jantung yang diakibatkan oleh kekurangan aliran darah atau oksigen. Penyebabnya adalah penyempitan atau sumbatan pembuluh darah koroner.
2. Etiologi
Penyebabnya dapat karena penyempitan kritis arteri koroner akibat arterosklerosis atau oklusi arteri komplet akibat embolus atau trombus. Penurunan aliran darah koroner dapat juga disebabkan oleh syok dan hemoragi. Pada setiap kasus terdapat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus tidak mereda, biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak dapat tertahankan lagi.
c. Nyeri ini sangat sakit, seperti ditusuk-tusuk yang dapat menjalar kebahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual serta muntah.
g. Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor (menumpulkan pengalaman nyeri).

4. Jenis-Jenis Miokard Infark
a. Miokard Infark Subendokardial.
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia dan infark. Miokard infark subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia. Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat takikardia atau hipertrofi ventrikel. Walaupun pada mulanya gambaran klinis dapat relatif ringan, kecenderungan iskemia dan infark lebih jauh merupakan ancaman besar setelah pasien dipulangkan dari Rumah Sakit.
b. Miokard Infark Transmural.
Pada lebih dari 90 % pasien miokard infark transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis seing terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerotik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan. Termasuk disini misalnya perdarahan dalam plaque aterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang umumnya terjadi di tempat aterosklerotik yang emboli koroner. Miokard infark dapat terjadi walau pembuluh koroner normal, tetapi hal ini amat jarang.
5. Patofisiologi
ISKEMIA
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium lokal. Pada iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium sehingga akan mengubah metabolisme yang bersifat aerob menjadi metabolisme anaerob. Pembentukan fosfat berenergi tinggi akan menurun. Hasil akhir metabolisme anaerob yaitu asam laktat akan tertimbun sehingga pH sel menurun.
Efek hipoksia, berkurangnya energi serta asidosis dengan cepat menganggu fungsi ventrikel kiri, kekuatan kontraksi berkurang, serabut-serabutnya memendek, daya dan kecepatannya berkurang. Gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali kontraksi. Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakkan jantung akan mengubah hemodinamika. Perunahan ini bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung sehingga akan memperbesar volume ventrikel akibatnya tekanan jatung kiri akan meningkat. Juga tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan dalam kapiler paru-paru akan meningkat.
Manifestasi hemodinamika pada iskemia yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan darah yang ringan dan denyut jantung sebelum timbulnya nyeri yang merupakan respon kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas merupakan respon vagus.
Iskemia miokardium secara khas disertai perubahan kardiogram akibat perubahan elektrofisiologi seluler yaitu gelombang Tterbalik dan depresi segmen ST. Serang iskemia biasanya mereda dalam beberapa menit bila ketidakseimbangan atara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik, dan elektrokardiografik bersifat reversibel.
INFARK
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau nekrosis. Bagian miokardium yang mengalami infark akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh daerah iskemia.
30 menit setelah terjadi sumbatan, perdarahan metabolik terjadi sebagai akibat dari iskemia. Glikosis anaerob berperan dalam menyediakan energi untuk menghasilkan laktase. Perubahan-perubahan pada elektro potensial membran, setelah 20 menit terjadi perubahan-perubahan seluler meliputi ruptur lisotum dan defek struktural sarkolema yang menjadi ireversibel pada sentral zone infark. Zone iskemia yang ada di sekitar area infark mungkin tersusun oleh sel-sel normal atau sel-sel abnormal. Area iskemia ini dapat membalik apabila sirkulasi terpenuhi secara adekuat. Tujuan terapi adalah memperbaiki area iskemia tersebut dan mencegah perluasan sentral zone nekrosis.
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penyebab penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus. Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan. Pada setiap kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jantung.
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri, infark transmural mengenai seluruh tebal dinding miokard, sedangkan infark subendokardial nekrosisnya hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel. Letak infark berkaitan dengan penyakit pada daerah tertentu dalam sirkulasi koroner, misalnya infark anterior dinding anterior disebabkan karena lesi pada ramus desendens anterior arteria koronaria sinistra, infark dinding inferior biasanya disebsbkan oleh lesi pada arteria coronaria kanan.
Infark miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis., kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga mengalami gangguan kontraksi.
Miokard infark mengganggu fungsi ventrikuler dan merupakan predisposisi terhadap perubahan hemodinamik yang meliputi : Kemunduran kontraksi, penurunan stroke volume, gerakan dinding abnormal, penurunan fraksi ejeksi, peningkatan ventrikuler kiri pada akhir sistole dan volume akhir diastole, dan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikuler. Mekanisme kompensasi output cardial dan perfusi yang mungkin meliputi stimulasi refleks simpatetik untuk meningkatkan kecepatan jantung, vasokonstriksi, hipertrofi ventrikuler, serta retensi air tuntutan dengan miokardial. Tapi direncanakan untuk mencukupi kebutuhan dengan dan menurunkan tuntutan terhadap oksigen.
Gangguan fungsional ini tergantung dari berbagai faktor; seperti:
• Ukuran infark: 40% berkaitan dengan syok kardiogenik.
• Lokasi infark: dinding anterior lebih besar mengurangi fungsi mekanik dibandingkan dinding inferior.
• Fungsi miokardium yang terlibat: infark tua akan membahayakan fungsi miokardium sisanya.
• Sirkulasi kolateral: dapat berkembang sebagai respon iskemia yang kronik dan hipoperfusi regional guna memperbaiki aliran darah yang menuju ke miokardium yang terancam.
• Mekanisme kompensasi dari kardiovaskuler: bekerja untuk mempertahankan curah jantung dan perfusi perifer.
Miokard infark paling sering terjadi pada ventrikel kiri dan dapat dinyatakan sesuai area miokardium yang terkena. Apabila mengenai tiga sekat dinding miokardium maka disebut infark transmural dan apabila hanya sebatas bagian dalam miokardium disebut infark sebendokardial. Miokard infark juga dapat dinyatakan sesuai dengan lokasinya pada jantung, yang secara umum dapat terjadi pada sisi posterior, anterior, septal anterior, anterolateral, posteroinferior dan apical. Lokasi dan luasan lesi menentukan sejauhmana kemunduran fungsi terjadi, komplikasi dan penyembuhan.
Dengan menurunnya fungsi ventrikel, diperlukan tekanan pengisian diastolik dan volume ventrikel akan meregangkan serabut miokardium sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum starling). Tekanan pengisian sirkulasi dapat ditingkatkan lewat retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga infark miokardium biasanya disertai pembesaran ventrikel kiri. Sementara, akibat dilatasi kompensasi kordis jantung dapat terjadi hipertrofi kompensasi jantung sebagai usaha untuk meningkatkan daya kontraksi dan pengosongan ventrikel.
Proses penyembuhan miokard infark memerlukan waktu beberapa minggu. Dalam waktu 24 jam terjadi udema seluler dan infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung dibebaskan menuju sel. Degradasi jaringan dan nekrosis terjadi pada hari kedua atau ketiga. Pembentukan jaringan parut dimulai pada minggu ketiga sebagai jaringan konektif fibrous yang menggantikan jaringan nekrotik, jaringan parut menetap terbentuk dalam 6 minggu sampai 3 bulan.
6. Faktor Pencetus
Faktor pencetus terjadinya Miokard infark yaitu :
a. Stress.
b. Cuaca yang dingin atau panas.
c. Pekerjaan fisik.
d. Merokok.
e. Minum kopi.
1. Komplikasi Klinik
• gagal jantung kongesif
• Syok kardiogenik
• Disfungsi otot papilaris
• Defek septum ventrikel
• Ruptura jantung
• Aneurisma ventrikel
• Tromboembolisme
• Perikarditis
• Aritmia



2. Hal-Hal Yang Bisa Menyebabkan Infark Miokardium
a. Aterosklerosis
Kolesterol dalam jumlah banyak berangsur menumpuk di bawah lapisan intima arteri. Kemudian daerah ini dimasuki oleh jaringan fibrosa dan sering mengalami kalsifikasi. Selanjutnya akan timbul “plak aterosklerotik” dan akan menonjol ke dalam pembuluh darah dan menghalangi sebagian atau seluruh aliran darah.
b. Penyumbatan koroner akut
Plak aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekua darah setempat atau trombus dan akan menyumbat arteria. Trombus dimulai pada tempat plak ateroklerotik yang telah tumbuh sedemikian besar sehingga telah memecah lapisan intima, sehingga langsung bersentuhan dengan aliran darah. Karena plak tersebut menimbulkan permukaan yang tidak halus bagi darah, trombosit mulai melekat, fibrin mulai menumpuk dan sel-sel darah terjaring dan menyumbat pembuluh tersebut. Kadang bekuan tersebut terlepas dari tempat melekatnya (pada plak ateroklerotik) dan mengalir ke cabang arteria koronaria yang lebih perifer pada arteri yang sama.
c. Sirkulasi kolateral di dalam jantung
Bila arteria koronaria koronaria perlahan-lahan meyempit dalam periode bertahun-tahun, pembuluh-pembuluh kolateral dapat berkembang pada saat yang sama dengan perkembangan arterosklerotik. Tetapi, pada akhirnya proses sklerotik berkembang di luar batas-batas penyediaan pembuluh kolateral untuk memberikan aliran darah yang diperlukan. Bila ini terjadi, maka hasil kerja otot jantung menjadi sangat terbatas, kadang-kadang emikian terbatas sehingga jantung tidak dapat memompa jumlah aliran darah normal yang diperlukan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG): Adanya gelombang patologik disertai peninggian segmen ST ( ST Elevasi) yang konveks dan diikuti gelombang T yang negatif dan simetrik. Yang terpenting ialah kelainan Q yaitu menjadi lebar (lebih dari 0,04 sec) dan dalam (Q/R lebih dari 1/3).
Tampilan elevasi segmen ST berbeda antara :
- STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction)
- NSTEMI (Non ST Elevation Myocardial Infarction)- di diagnosis ketika enzim jantung mengalami kenaikan.
Sadapan dengan ST elevasi menolong petugas kesehatan untuk melihat daerah mana dari jantung yang mengalami infark. Juga dapat memprediksikan arteri yang rusak.
Dinding yang dipengaruhi Sadapan yang menampilkan ST elevasi Sadapan yang menampilkan depresi segmen ST Arteri yang dicurigai rusak

b. Laboratorium :
Creatin fosfakinase (CPK). Iso enzim CKMB meningkat. Hal ini terjadi karena kerusakan otot, maka enzim intra sel dikeluarkan ke dalam aliran darah. Normal 0-1 mU/ml. Kadar enzim ini sudah naik pada hari pertama (kurang lebih 6 jam sesudah serangan) dan sudah kembali kenilai normal pada hari ke 3.
SGOT (Serum Glutamic Oxalotransaminase Test) Normal kurang dari 12 mU/ml. Kadar enzim ini biasanya baru naik pada 12-48 jam sesudah serangan dan akan kembali kenilai normal pada hari ke 4 sampai 7.
LDH (Lactic De-hydroginase). Normal kurang dari 195 mU/ml. Kadar enzim baru naik biasanya sesudah 48 jam, akan kembali ke nilai normal antara hari ke 7 dan 12.
c. Pemeriksaan lainnya adalah ditemukannya peninggian LED,lekositosis ringan dan kadang-kadang hiperglikemia ringan.
d. Kateterisasi: Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi.
e. Radiologi. Hasil radiologi tidak menunjukkan secara spesifik adanya infark miokardium, hanya menunjukkan adanya pembesaran dari jantung.
4. Pengobatan iskemia dan infark
Pengobatan iskemia miokardium ditujukan kepada perbaikan keseimbangan oksigen (kebutuhan miokardial akan oksigen) dan suplai oksigen.Untuk pemulihan dilakukukan dengan mekanisme:
1. Pengurangan kebutuhan oksigen.
2. Peningkatan suplai oksigen
Ada tiga penentu utama untuk pengurangan kebutuhan oksigen, yang dapat diatasi dengan terapi adalah :
1. Kecepatan denyut nadi
2. Daya kontraksi
3. Beban akhir (tekanan arteria dan ukuran ventrikel )
4. Beban kebutuhan jantung dan kebutuhan akan oksigen dapat dikurangi dengan menurunkan kecepatan denyut jantung, kekuatan kontraksi, tekanan arteria dan ukuran ventrikel.
Nitrogliserin
Terutama untuk dilatasi arteria dan vena perifer dengan memperlancar distribusi aliran darah koroner menuju daerah yang mengalami iskemia meliputi; vasodilatasi pembuluh darah kolateralis. Dilatasi vena akan meningkatkan kapasitas penambahan darah oleh vena diperifer, akibatnya aliran balik vena ke jantung menurun sehingga memperkecil volume dan ukuran ventrikel. Dengan demikian vasodilatasi perifer akan mengurangi beban awal akibatnya kebutuhan oksigen pun akan berkurang.
Propranol (inderal)
Suatu penghambat beta adrenergik, menghambat perkembangan iskemia dengan menghambat secara selektif pengaruh susunan saraf simpatis terhadap jantung. Pengaruh ini disalurkan melalui reseptor beta. Rangsangan beta meningkatkan kecepatan denyut dan daya kotraksi jantung . Proprenol menghambat pengaruh-pengarug ini, dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen.
Digitalis
Digitalis dapat meredakan angina yang menyertai gagal jantung dengan meningkatkan daya kontraksi dan akibatnya akan meningkatnya curah sekuncup. Dengan meningkatnya pengosongan ventrikel, maka ukuran ventrikel berkurang. Meskipun kebutuhan akan oksigen meningkat akibat meningkatnya daya kontraksi, hasil akhir dari pengaruh digitalis terhadap gagal jantung adalah menurunkan kebutuhan miokardium akan oksigen.
Diuretika
Mengurangi volume darah dan aliran balik vena ke jantung, dan dengan demikian mengurangi ukuran dan volume ventrikel.
Obat vasodilator dan antihipertensi dapat mengurangi tekanan dan resistensi arteria terhadap ejeksi ventrikel, akibatnya beban akhir menurun/berkurang.
Sedativ dan antidepresan juga dapat mengurangi angina yang ditimbulkan oleh stres atau depressi.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN DASAR
a. Aktivitas
Gejala:
o Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur
o Pola hidup menetap, jadwal olahraga tidak teratur
Tanda:
o Takikardi, dispnea pada waktu istirahat/aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala:
o Riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, GJK, masalah TD, diabetes mellitus.
Tanda:
o TD: dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk/berdiri.
o Nadi: dapat normal; penuh/tak kuat, lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
o Bunyi jantung: bunyi jantung ekstra S3/S3 mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel
o Murmur: bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papiler.
o Friksi: dicuragai perikarditis
o Irama jantung: dapat teratur atau tidak teratur
o Edema: distensi vena jugular, edema dependen/perifer, edema umum, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
o Warna: pucat atau sianosis/kulit abu-abu, kuku datar, pada membrane mukosa dan bibir.
c. Integritas Ego
Gejala:
o Menyangkal gejala penting/adanya kondisi
o Takut mati, perasaan ajal sudah dekat
o Marah pada penyakit/perawatan yang “tak perlu”
o Kuatir tentang keluarga, kerja, keuangan.
Tanda:
o Menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata
o Gelisah, marah, perilaku menyerang
o Fokus pada diri sendiri/nyeri.
d. Eliminasi:
Tanda:
o Normal atau bunyi usus menurun
e. Makanan/cairan
Gejala:
o Mual, kehilangan nafsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:
o Penurunan turgor kulit; kulit kering/berkringat
o Muntah
o Perubahan berat badan
f. Higiene:
o Gejala/tanda: kesulitan melakukan tugas perawatan
g. Neurosensori
Gejala:
o Pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istirahat)
Tanda:
o Perubahan mental
o Kelemahan
h. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
o Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat tidak berhubungan dengan aktivitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
o Lokasi: tipikal pada dada anterior, substernal, prekordia; dapat menyebar ke tangan, rahang dan wajah.
o Kualitas: ‘chursing’ menyempit, berat, menetap tertekan.
o Intensitas: biasanya 10 pada skala 1 – 10; mungkin pengalaman nyeri yang belum pernah dirasakan.
o Catatan: nyeri mungkin tak ada pasien pasca operasi, dengan diabetes mellitus atau hipertensi atau lansia.
Tanda:
o Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
o Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
o Menarik diri, kehilangan kontak mata
o Respon otomatik: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, warna kulit/kelembaban, pernapasan, kesadaran.
i. Pernapasan
Gejala:
o Dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal.
o Batuk dengan/tanpa produksi sputum.
o Riwayat merokok, penyakit pernapasan kronik.
Tanda:
o Peningkatan frekuensi pernapasan, napas sesak/kuat.
o Pucat atau sianosis.
o Bunyi napas: bersih atau krekels/mengi.
o Sputum: bersih, merah muda kental
j. Interaksi social
Gejala:
o Stress saat ini contoh kerja, keluarga
o Kesulitan koping dengan stressor yang ada, contoh penyakit, perawatan di RS
Tanda:
o Kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi (marah terus-menerus, takut)
o Menarik diri dari keluarga
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
o Riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer
o Penggunaan tembakau.
Pertimbangan
o DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 7,3 hari (2 – 4 hari/ccu)
Rencana pemulangan
o Bantuan pada persiapan makan, belanja, transportasi, perawatan rumah/memelihara tugas, susunan fisik rumah
2. PERIORITAS KEPERAWATAN
a. Menghilangkan nyeri, cemas.
b. Menurunkan kerja miokard
c. Mencegah/mendeteksi dan membantu pengobatan disritmia yang mengancam hidup atau komplikasi.
d. Meningkatkan kesehatan jantung, perawatan diri.
3. TUJUAN PEMULANGAN
a. Tidak ada nyeri dada/terkontrol
b. kecepatan jantung/irama mampu mempertahankan curah jantung adekuat/perfusi jaringan.
c. Meningkatkan tingkat aktivitas untuk perawatan diri dasar.
d. Ansietas berkurang/teratasi
e. Proses penyakit, rencana pengobatan, dan prognosis dipahami.

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi/yang utama :
a. Nyeri dada yang berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri koroner.
Kriteria :
 Nyeri dada hilang/terkontrol
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
 Klien tampak rileks,mudah bergerak
Intervensi :
1) Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi dan faktor yang mempengaruhinya.
R/: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala pasca terapi.
2) Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi kardiak.
R/: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung.
3) Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
R/: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya,sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli paru, atau perikarditis
4) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
R/: Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
5) Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman
R/: Menurunkan rangsang eksternal
6) Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi.
R/: Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri
7) Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
R/: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel
8) Kolaborasi dengan tim medis pemberian :
a) Antiangina (NTG)
R/: Untuk mengontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia
b) Penyekat β (atenolol)
R/: Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard
c) Preparat analgesik (Morfin Sulfat).
R/: Untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard
d) Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik
R/: Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen yang bersirkulasi).
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung
Kriteria Hasil :
 Klien dapat melakukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur dengan frekuensi jantung/irama jantung dan TD dalam batas normal
 Kulit teraba hangat, merah muda dan kering

Intervensi :
1) Pantau frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, sesudah beraktivitas sesuai indikasi
R/: Untuk menentukan tingkat aktivitas klien yang tidak memberatkan curah jantung
2) Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik, berikan aktivitas senggang yang tidak berat
R/: Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan risiko komplikasi
3) Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi
R/: Dengan mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi dan peningkatan TD
4) Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat akyivitas
R/: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan
5) Observasi gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktivitas
R/: Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program olahraga atau diet.
c. Risiko penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural
Kriteria Hasil :
• TD, curah jantung dalam batas normal
• Haluaran urine adekuat
• Tidak ada disritmia
• Penurunan dispnea, angina
• Peningkatan toleransi terhadap aktivitas

Intervensi :
1) Pantau tanda vital : frekuensi jantung, TD,nadi
R/: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara dini sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena TD dapat meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung dipengaruhi.
2) Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4
R/: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan ventrikel, dan hipertensi pulmonal /sistemik
3) Auskultasi bunyi napas
R/: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard
4) Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan kafein,kopi, coklat, cola
R/: Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi,peningkatan frekuensi jantung
5) Kolaborasi
a) Berikan oksigen sesuai indikasi
R/: Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan disritmia lanjut
b) Pertahankan cairan IV
R/: Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada disritmia/nyeri dada
c) Kaji ulang seri EKG
R/: Memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan infark, fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit, dan efek terapi obat
d) Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
R/: Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya hipoksia,hipokalemia/hiperkalsemia
e) Berikan obat antidisritmia
d. Risiko perubahan perfusi jaringan b.d penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli
Kirteria Hasil :
 Kulit hangat dan kering
 Nadi perifer kuat
 Tanda vital dalam batas normal
 Kesadran compos mentis
 Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
 Tidak edema dan nyeri
Intervensi :
1) Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran secara tiba-tiba
R/: Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung
2) Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan nadi perifer
R/: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung
3) Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema
R/: Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam
4) Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif
R/: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan risiko tromboflebitis
5) Pantau pemasukan dan perubahan haluaran urine
R/: Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ
6) Pantau laboratorium GDA, kreatinin, elektrolit
R/: Indikator dari perfusi atau fungsi organ
7) Beri obat sesuai indikasi
a) Heparin Untuk menurunkan resiko tromboflebitis atau pembentukan trombus mural
b) Cimetidine untuk Menetralkan asam lambung dan iritasi gaster
e. Ansietas yang berhubungan dengan ketakutan akan kematian.
Tujuan : Penghilangan kecemasan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarganya serta mekanisme koping
R/: Data tersebut memberikan informasi mengenai perasaan sehat secara umum dan psikologis sehingga gejala pasca terapi dapat dibandingkan.
2) Kaji kebutuhan bimbingan spiritual.
R: Jika pasien memerlukan dukungan keagamaan, konseling agama akan membantu mengurangi kecemasan dan rasa takut.
3) Biarkan pasien dan keluarganya mengekspresikan kecemasan dan ketakutannya.
R/: Kecemasan yang tidak dapat dihilangkan (respons stress) meningkatkan konsumsi oksigen jantung.
4) Manfaatkan waktu kunjungan yang fleksibel, yang memungkinkan kehadiran keluarga untuk membantu mengurangi kecemasan pasien.
R/: Kehadiran dukungan anggota keluarga dapat mengurangi kecemasan pasien maupun keluarga.
5) Dukung partisipasi aktif dalam program rehabilitasi jantung.
R/: Rehabilitasi jantung yang diresepkan dapat membantu menghilangkan ketakutan akan kematian, dapat meningkatkan perasaan sehat.
6) Ajarkan tehnik pengurangan stress.
R/: Pengurangan stress dapat membantu mengurangi konsumsi oksigen miokardium dan dapat meningkatkan perasaan sehat.
f. Risiko kelebihan volume cairan b/d penurunan perfusi organ (ginjal), peningkatan natrium/retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma.
Kriteria hasil :
• Mempertahankan keseimbangan cairan spt dibuktikan oleh TD dalam batas normal.
• Tidak ada distensi vena perifer/vena dan edema dependen.
• Paru bersih dan berat badan stabil.
Intervensi :
1. Auskultasi bunyi napas untuk adanya krekels.
R/: Dapat mengindikasikan edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.
2. Catat DVJ, adanya edema dependen.
R/: Di curigai adanya gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
3. Ukur masuka/haluaran, cata pengeluaran, sifat kosentrasi.
R/: Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air dan penurunan haluaran urine.
4. Timbang berat badan tiap hari.
R/: Perubahan tiba-tiba pada berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan volume cairan.
5. Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.
R/: Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan pembatasan pada adanya decompensasi jantung.
6. Berikan diet rendah natrium.
R/: Natrium meningkatkan retensi cairan dan harus di batasi.
7. Berikan diuretik spt : furosemid, hidralazin.
R/: Memperbaiki kelebihan volume cairan.


8. Pantau kalium sesuai indikasi.
R/: Hipokalemia dapat membatasi keefektifan terapi dan dapat terjadi dengan penggunaan diuretik penurun kalium.
g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan b/d kurang informasi tentang penyakit jantung, status kesehatana yg akan datang, kebutuhan pperubahan pola hidup, tidak mengenal terapi pasca terapi/kebutuhan perawatan diri.
Kriteria hasil :
• Menyataakan pemahaman penyakit jantung sendiri, rencana pengobatan, tujuan pengobatan, dan efek samping merugikan.
• Menyebutkan gejala yang memerlukan perhatian cepat.
• Mengidentifikasi/merencanakan perubahan pola hidup yang perlu.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetaahuan pasien/orang terdekat dan kemampuan keinginan belajar.
R/: Perlu untuk pembuatana rencana instruksi individu.
2. Beri informasi tentang penyakit yang di derita.
R/: Peneingkatan pengetahauan tenatng penyakit yang di derita.
3. Beri penguatan penjelasan faktor risiko, pembatasan diet/akktivitas, obat, dan gejaala yang memerlukan perhatian medis yang cepat.
R/: Memberikan kesemapatana pada pasien untuk mencakup informasi dan mengasumsi partisipasi dalam program rehabilitasi.
4. Dorong mmengidentifikasi penurunan faktor riisiko indiividu, cth merokok, konsumsi alkohol, kegemukan.
R/: Perilaku ini dapat merugikan langsung pada kardiovaskuler.
5. Peringatkan untuk menghindari aktivitas isometrik, manuver valsava dan aktivitas yang memerlukan tanagan diposisikan diatas kepala.
R/: Aktivitas ini sangat mmeningktakan kerja jantung.
6. Tekankan pentingnys melaporkan terjadinya demam sehubungan dengan nyeri dada menyebar/tidak khas dan nyeri sendi.
R/: Komplikasi pasca IM dari inflamasi perikardial memerlukan evaluasi /intervensi medis lanjut.


























DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E, et all. 2000. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. EGC: Jakarta

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Lynda Jual Carpenito R.N, M.S.N, 1995, Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Sylvia A.Price, Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Kamis, 04 Agustus 2011

PROLAPS UTERI

PENDAHULUAN

Kelainan dalam letak alat-alat genital sudah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi. Catatan-catatan yang ditemukan di Mesir mengenai Ratu Cleopatra, menyatakan prolapsus genitalis merupakan satu ahal yang aib pada wanita dan menganjurkan pengobatannya dengan penyiraman dengan larutan Adstringensia. Dalam hal ilmu kedokteran Hindu kuno menurut Chakraberty, dijumpai keterangan-keterangan mengenai kelainan dalam letak alat genital, dipakai istilah “Mahati” untuk wanita yang lebar dengan sistokel, rektokel dan laserasi perineum.

Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan peranankan terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan saja untuk menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena diagnosis letak yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus.

Prolapsus uteri adalah keadaan yang sangat jarang terjadi. Kebanyakan terjadi pada usia tua dan pada usia muda. Hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut.



DEFINISI

Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya. Atau turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis.

KLASIFIKASI

Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu:

A. Prolapsus uteri tingkat I : serviks uteri turun sampai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks uteri menonjol keluar dari introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : seluruh uterus keluar dari vagina. Prolaps ini juga dinamakan Prosidensia Uteri.

B. Prolapsus uteri tingkat I : serviks masih berada dalam vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks mendekati atau sampai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : serviks keluar dari introitus vagina.

Prosidensia Uteri : uterus seluruhnya keluar dari vagina.

C. Prolapsus uteri tingkat I : serviks mencapai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : uterus keluar dari introitus kurang dari ½ bagian.

Prolapsus uteri tingkat III : uterus keluar dari introitus vagina lebih besar dari ½ bagian.

D. Prolapsus uteri tingkat I : serviks mendekati processus spinosus.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks terdapat antara processus spinosus dan introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : serviks keluar dari introitus vagina.

G. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D, ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (Prosidensia Uteri).

Klasifikasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Desensus uteri : uterus turun tetapi serviks masih dalam vagina.
Prolapsus uteri tingkat I : uterus turun dengan serviks uteri turun sampai introitus vagina.
Prolapsus uteri tingkat III (Prosidensia Uteri) : uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai inversion uteri.
Prolapsus uteri tingkat II : uterus untuk sebagian keluar sampai vagina.
FREKWENSI

Prolaspsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan wanita dengan pekerjaan yang berat. Djafar Siddik pada penyelidikan selama 2 tahun (1969-1971) memperoleh 63 kasus prolapsus dari 5.372 kasus ginekologi di RS Dr. Pirngadi, Medan. Terbanyak pada grande multipara dalam masa menopause. Dari 63 kasus tersebut, 69 % berumur 40 tahun. Walaupun jarang sekali prolapsus uteri juga ditemukan pada seorang nullipara.

Kehamilan pada prolapsus total sangat jarang terjadi, mengingat proses koitusnya sukar berhasil, namun kehamilan pada uterus yang mengalami prolapsus parsial lebih sering ditemukan.

ETIOLOGI

Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau regangan) atau karena usia lanjut.
Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah.
Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites, tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis).
Partus yang berulang dan terjadi terlampau sering.
Partus dengan penyulit.
Tarikan pada janin sedang pembukaan belum lengkap.
Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan placenta.
FISIOLOGIS

Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu :

Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :
ligamentum rotundum (lig teres uteri) : ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.
Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sacrum kiri dan kanan.
Ligamentum cardinale (Mackenrodt) : ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v uterina.
Ligamentum latum : ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii) : ligamentum yang menahan tuba fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.


Jaringan –jaringan yang menunjang vagina
Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari urethra menuju ke dinding depan vagina.
à Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina.

Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum)
à Kelemahan fasia ini menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina.

Kantong Douglas
Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum di sebelah kanan dan kiri , vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini, oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan hernia (enterokel).

Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani
Dasar panggul terdiri dari :

diafragma pelvis
diafragma urogenital
otot penutup genitalia eksterna
v Diafragma pelvis :

- otot levator ani : iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis

- koksigeus

- fasia endopelvik

Fungsi levator ani :

mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis, sehingga organ-organ pelvis diatasnya tidak dapat turun (prolaps).
mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligamen-ligamen tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvis diatasnya.
Sebagai sandaran dari uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligamen seperti ligamen cardinale, sacrouterina dan fasia akan mempunyai beban kerja yang berat untuk mempertahankan organ-organ yang digantungnya, sebaliknya selama otot-otot levator ani normal, ligamen-ligamen dan fasia tersebut otomatis dalam istirahat atau tidak berfungsi banyak.
M. Pubovaginalis berfungsi sebagai :
- penggantung vagina. Karena vagina ikut menyangga uterus serta adnexa, vesica urinaria serta urethra dan rectum, maka otot ini merupakan alat penyangga utama organ-organ dalam panggul wanita.

- Robekan atau peregangan yang berlebihan merupakan predisposisi terjadinya prolapsus cystocele dan rectocele

- Sebagai sphincter vaginae dan apabila otot tersebut mengalami spasme maka keadaan ini disebut vaginismus

M. puborectalis berfungsi sebagai :
- penggantung rectum

- mengontrol penurunan feces

- memainkan peranan kecil dalam menahan struktur panggul.

M. iliococcygeus berfungsi sebagai :
- Sebagai lapisan musculofascial.

v Diafragma urogenital

Fungsi diafragma urogenital:

memberi bantuan pada levator ani untuk mempertahankan organ-organ pelvis
PATOLOGI

Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat, dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan, khususnya persalinan yang susah terdapat kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang.

Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana yang dipakai oleh wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang dinamakan ulkus dekubitus.

Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya trauma obstetric, ia terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan menyebabkan menonjolnya dinding depan vagina ke belakang, hal ini dinamakan sistokel.

Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar kar\ena persalinan berikutnya, terutama jika persalinan itu berlangsung kurang lancar, atau harus diselesaikan dengan menggunakan peralatan. Urethra dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan urethrokel. Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya dibelakang urethra ada lubang yang menuju ke kantong antara urethra dan vagina.

Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel.

Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun , oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid.

GEJALA-GEJALA KLINIK

Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang-kadang penderita yang satu dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun. Sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.

Prolaps dapat terjadi secara akut alam hal ini dapat timbul gejala nyeri yang sangat, muntah dan kolaps. Keluhan-keluhan yang hampir dijumpai adalah:

Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia eksterna.
Rasa sakit dalam panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring keluhan hilang atau berkurang.
Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri terhadap celana dapat menimbulkan lecet sampai luka dekubitus pada poertio uteri.
Leukorhea karena kongesti pembuluh darah vena daerah serviks dan area infeksi serta luka pada portio uteri.
Coitus terganggu.
Infertilitas karena servicitis.
Incontinentia urine jika sudah terjadi cystokele oleh karena dinding belakang urethra tertarik sehingga faal spingter kurang sempurna.
Kesukaran defekasi pada rektokel. Obstipasi karena fese terkumpul dalam rongga rektokel. Baru dapat dilaksanakan defekasi setelah diadakan tekanan pada rectokel dari vagina.
DIAGNOSIS

Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan genikologi umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus uteri.

Friedman dan Little (1961) mengajukan pemeriksaan sebagai berikut:

Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah portio uteri pada posisi normal, apakah portio dibawah posisi normal, apakah portio sampai introitus vagina, apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina.
BENTUK-BENTUK

Introitus Menganga : mudah dimasuki empat jari.
Cystocele : dinding depan vagina menonjol, dalam tonjolan ini terdapat dinding belakang kandung kemih sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urine.





Enterokel : biasanya berisi usus halus atau omentum dan mungkin menyertai uterus turun ke dalam vagina
Rectocele : dinding belakang vagina menonjol beserta dinding depan ampula recti menimbulkan kesukaran pada defekasi.





Prolapsus Uteri : portio tampak dalam introitus.
Prolapsus Uteri Totalis (Procidentia) : uterus tergantung diluar badan, terbungkus oleh vagina. Pada bentuk ini selaput lendir vagina menebal dan sering terjadi ulcus decubitus.

TERAPI

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan terapi prolapsus adalah:

- keadaan umum

- Masih bersuami atau tidak

- Keinginan punya anak

- Umur

- Tingkat prolaps

Terapi prolaps dapat dibagi:

A. Terapi Kuratif atau Non Operatif

Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan dan hanya memberikan hasil sementara. Cara ini dilakukan pada prolaps ringan tanpa keluhan, jika yang bersangkutan masih ingin punya anak. Jika penderita menolak untuk dilakukan operasi atau jika kondisinya tidak mengijinkan untuk dioperasi.

Yang termasuk pengobatan tanpa operasi:

1) Latihan-latihan otot dasar panggul

2) Latihan ini sangat berguna pada prolaps yang ringan yang terjadi pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan. Tujuannya adalah untuk menguatkan otot dasar panggul atau otot uang mempengaruhi mictio. Latihan ini dilakukan selama beberapa bulan.

3) Caranya: penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan panggul, seperti biasanya setelah BAB, atau penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air kencing dan tiba-tiba menghentikannya.

4) Latihan ini bias menjadi lebih efektif dengan menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri dari obsturator yang dimasukkan ke dalam vagina dengan selaput pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan demikian kontraksi otot-otot dasar panggul dapat diukur.

5) Stimulasi otot-otot dengan alat-alat listrik

6) Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang dalm pessarium yang dimasukkan dalam vagina.

7) Pengobatan dengan Pessarium

8) Pengobatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif, yakni menahan uterus di tempatnya selama dipakai. Jika Pessarium diangkat timbul prolaps lagi. Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Kerugian pessarium ini adalah perasaan rendah diri dan pessarium harus dibersihkan sebulan sekali. Untuk penanganan prolapsus uteri selama awal kehamilan, uterus harus direposisi dan dipertahankan dalam posisinya dengan pessarium yang sesuai.

B. Terapi Operatif

1. Ventrofiksasi

Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak dilakukan operasi untuk membuat uterus Ventrofiksasi, dengan cara memendekkan ligamentum Rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare.

2. Hysterektomi vagina

Hysterektomi vaginal sebagai terapi prolaps kita pilih kalau ada methroragi, patologi portio atau tumor dari uterus, juga pada prolaps uteri tingkat lanjut.

3. Manchester – Fothergill

Dasarnya ialah memendekkan ligamentum Cardinale. Disamping itu dasar panggul diperkuat ( Perineoplasty ) dan karena sering ada elongasio coli dilakukan amputasi dari portio. Cystokele atau Rectokele dapat diperbaiki dengan Kolporafia anterior atau posterior.

4. Kolpocleisis ( Neugebauer – Le Fort )

Pada wanita tua yang seksual tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan menghubungkan dinding vagina depan dengan bagian belakang, sehingga lumen vagina ditiadakan dan uterus terletak diatas vagina yang tertutup itu. Akan tetapi operasi ini dapat mengakibatkan tarikan pada dasar kandung kemih kebelakang, sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urine, atau menambah inkontinensia yang telah ada. Coitus tidak mungkin lagi setelah operasi.

5. Operasi transposisi dari Watkins ( interposisi operasi dari Wertheim )

Prinsipnya ialah menjahit dinding depan uterus pada dinding depan vagina, sehingga korpus uteri dengan demikian terletak antara dinding vagina dan vesika urinaria dalam hiperantefleksi dan ekstra peritoneal. Disambing itu dilakukan amputasi portio dan perineoplasty. Setelah operasi ini wanita tidak boleh hamil lagi, maka sebaiknya dilakukan dalam menopause.

PROFILAKSIS

Untuk mencegah terjadinya prolaps uteri :

Kandung kemih hendaknya kosong pada waktu partus terutama dalam kala pengeluaran.
Robekan perineum harus dijahit legeartis.
Kala pengeluaran hendaknya jangan terlalu lama supaya dasar panggul jangan lama teregang. Pergunakan episiotomi jika diperlukan.
Memimpin persalinan dengan baik, agar dihindarkan penderita meneran sebelum pembukaan lengkap betul.
Menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta ( perasat Crede ).
KOMPLIKASI

1. Keratinisasi Mukosa Vagina dan Portio Uteri

Procidentia uteri disertai keluarnya dinding vagina ( inversion ) karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut dan berwarna keputuh-putihan.

2. Dekubitus

Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian dalam, hal itu dapat menyebabkan luka dan radang dan lambat laun timbul ulcus dekubitus. Dalam keadaan demikian perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita berumur lanjut. Biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan kepastian ada tidaknya karsinoma insitu.

3. Hipertrofi Serviks Uteri dan Elongasio Koli

Jika serviks uteri menurun sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih cukup kuat, maka kerana tarikan ke bawah dari bagian uterus yang turun serta pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan Elongasio Kolli. Hipertrofi ditentukan dengan periksa lihat dan periksa raba sedang pada elongasio kolli serviks uteri pada pemeriksaan raba lebih panjang dari biasa.

4. Gangguan miksi dan stress incontinensia

Pada sistocele berat miksi kadang-kadang terhalang, sehingga kandung kemih tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bias juga menyempitkan ureter, sehingga bias menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya Cystocele dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kemih dan urethra akibat stress incontinensia.

5. Infeksi Saluran Kemih

Adanya retensio urine memudahkan timbulnya infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan menyebabkan Pielitis dan pielonefritis. Akhirnya hal itu dapat menyebabkan gagal ginjal.

6. Kemandulan

Karena menurunnya serviks uteri sampai dekat pada introitus vagina atau keluar sama sekali dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.

7. Kesulitan Pada Waktu Partus

Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu persalinan bias timbul kesulitan pada pembukaan serviks, sehingga kemajuan persalinan terhalang.

8. Haemorhoid

Feses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan obstipasi dan timbulnya haemorhoid.

9. Inkarserasi Usus Halus

Usus halus yang masuk kedalam enterokel dapat terjepit dan tidak direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit.

PROLAPS UTERI DALAM KEHAMILAN

Kalau uterus dengan prolapsus parsialis menjadi hamil maka biasanya uterus yang membesar itu keluar dari rongga kecil dan terus tumbuh dalam rongga perut. Kalau uterus naik maka serviks ikut tertarik keatas sehingga prolaps tidak tampak lagi atau berkurang.

Jika ada prolaps dalam kehamilan maka baiknya uterus ditahan dengan pessarium sampai bulan keempat, kalau dasar panggul terlalu lemah sehingga pessarium terus jatuh maka pasien dianjurkan istirahat rebah sampai bulan keempat. Istirahat mengurangi penderitaan wanita dan memungkinkan uterus tumbuh secara wajar sampai kehamilan mencapai cukup bulan.


KESIMPULAN

Prolapsus uteri adalah keadaan yang jarang terjadi. Kebanyakan terjadi pada wanita usia tua dan grandemultipara pada masa menopause. Hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut. Prolapsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan wanita dengan pekerjaan berat.

Prolapsus uteri dapat disebabkan oleh dasar panggul yang lemah oleh karena partus yang berulang atau dengan penyulit (ruptur perineum atau regangan) atau usai lanjut, retinakulum uteri lemah, tekanan abdominal yang meninggi, ekspresi menurut Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta.

Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi seperti keratinisasi mukosa vagina dan portio uteri, dekubitus, hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli, gangguan miksi dan stress incontinensi, infeksi saluran kemih, kemandulan, kesulitan pada waktu partus, haemorrhoid, inkarserasi usus halus.

SARAN

Perlunya pencegah terhadap kemungkinan terjadinya prolaps uteri dengancara mengosongkan kandung kemih pada kala pengeluaran, penjahitan perineum yang lege artis, bila perlu lakukan episiotomi, memimpin persalinan dengan baik, hindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (parasat crede).

Penanganan prolapsus uteri sebaiknya dilakukan dengan menilai keadaan dari keadaan umum pasien, umur, masih bersuami atau tidak, tingkat prolaps sehingga didapatkan terapi yang paling ideal untuk setiap pasien.

Sabtu, 09 Juli 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS (Acquireed Imuno Deficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Deficyency Virus) yang mudah menular dan mematikan. HIV terus menerus merusak sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang sehat mengendalikan kuman agar tidak menyebabkan penyakit namun setelah beberapa waktu sistem kekebalan menjadi begitu rusak sehingga kuman dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya kematian. AIDS terjadi sewaktu sistem kekebalan menjadi terlalu lemah, dan disertai dengan infeksi yang dinamakan infeksi oppurtunistik, kurang lebih 7-10 tahun setelah penularan HIV (Nursalam dkk, 2007).
Jumlah orang yang terinfeksi terus meningkat pesat dan tersebar luas di seluruh dunia. WHO (World Health Organization) menyebutkan hingga akhir Desember 2000, disebutkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi HIV masih tetap berlangsung, 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Di Indonesia sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun 1987 hingga akhir 2002 telah di laporkan orang yang rawan tertular HIV berkisar antara 13 juta sampai 20 juta orang, sedangkan orang dengan HIV diperkirakan antara 90 ribu sampai 130 ribu orang (Nasronuddin,2007).
Di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi juga tidak lepas dari kasus HIV/AIDS hingga april 2007 terdapat sekitar 1639 orang telah terjangkit, Makassar sendiri di perkirakan terdapat 1423 orang terinfeksi HIV/AIDS dan ter khusus di PKM Jumpandang Baru data yang di peroleh hingga akhir oktober 2008 sebanyak 53 orang. Dan ini berarti jumlah penduduk akan semakin berkurang bukan saja karena keberhasilan program KB tetapi oleh karena kematian akibat penderita HIV/AIDS yang cenderung meningkat (Nasronuddin, 2004). Pada pasien HIV/AIDS sistem imunitasnya akan mengalami penurunan. Seseorang yang dinyatakan terinfeksi HIV butuh waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung kondisi fisik dan psikologinya, namun sejak dinyatakan terinfeksi HIV sering penderita mengalami stress, dikarenakan tingginya tekanan emosional yang mereka terima.
Sampai saat ini HIV/AIDS belum bisa di sembuhkan namun infeksi yang terjadi masih bisa diobati ataupun dicegah dengan obat. Sekarang tersedia jenis obat baru yang dapat mempertahankan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) selama bertahun-tahun, yaitu ARV (anti retroviral). Terapi ARV diberikan kepada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oppurtunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup, dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS.
Tetapi ARV merupakan terapi yang digunakan dengan menggunakan obat. Resistensi terhadap obat-obat tersebut sangat mudah terjadi apabila dosisnya dilewatkan, dan penelitian menunjukkan bahwa pasien perlu memakai sedikitnya 95 % dosis untuk tetap mempertahankan menekan virus. Ini berarti tidak melewatkan lebih dari tiga dosis dalam sebulan untuk pengobatan dua kali sehari, dan tetap mempertahankan tingkat kepatuhan secara terus-menerus. (Keith Alcorn, 2007)
Mempertahankan kepatuhan pasien membutuhkan kewaspadaan. Penelitian di Negeria dilakukan di Rumah Sakit Universitas Abuja dan Institute Of Human Virology Universitas Maryland tahun 2006 menemukan bahwa satu diantara lima pasien dilaporkan tingkat kepatuhannya kurang dari 95 % (keith alcorn,2007 ).
Pengobatan ARV dapat menekan replikasi virus HIV, sehingga virus HIV dalam bentuk bebas (viral load) berkurang sampai tidak dapat terdeteksi lagi. Apabila pengobatan ARV dihentikan, replikasi virus kembali terjadi dan biasanya akan terjadi resistensi terhadap pengobatan ARV terdahulu sehingga perlu diganti dengan obat kombinasi yang baru. Keberhasilan pengobatan ARV di tentukan oleh kepatuhan pasien terhadap terapi dan dapat di evaluasi melalui viral load.
Pengobatan ARV dilakukan seumur hidup untuk menghambat replikasi virus HIV dan menekan Viral load, oleh karena itu kepatuhan terhadap pengobatan ini sangatlah berarti bagi pasien HIV.
Kepatuhan terhadap terapi ARV sangat di tentukan oleh berbagai factor diantaranya: pendidikan, pengetahuan, dukungan keluarga, biaya, kepercayaan, pekerjaan, pendampingan dan reaksi simpang obat.
Faktor-faktor ini turut menentukan kepatuhan penderita minum obat karena seorang penderita dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang baik, akan secara rutin minum obat untuk mengurangi dan menyembuhkan penyakitnya. Demikian juga dengan dukungan keluarga. Keluarga yang mampu melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga, akan mampu untuk menjaga kesehatan dan selalu memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang menderita HIV untuk selalu minum obat. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dapat di rumuskan bahwa pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui ada hubungan pengetahuan tentang terapi ARVdengan tingkat kepatuhan pasien HIV
b. Diketahui ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
c. Diketahui ada hubungan reaksi simpang obat dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
d. Diketahui ada hubungan pendampingan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Institusi
Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya keberhasilan terapi ARV pada pasien HIV.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.
3. Manfaat klinis
a. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV untuk menjalani terapi ARV
b. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan konstribusi yang positif bagi pasien HIV/AIDS dan keluarganya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG HIV/AIDS
1. Defenisi AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pertama kali diketahui pada tahun 1981 sebagai penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus, yang sebelumnya tidak diketahui, dan dikenal sebagai HIV. Pada tahun 1982 AIDS didefinisikan oleh Centers for Disease Control and Prevention , sebagai suatu penyakit fatal secara keseluruhan, yang kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan perawatan yang canggih selama perjalanan penyakit (Nursalam,2007).
2. Epidemologi
Faktor resiko epidemiologis meliputi : (Depkes RI, 2001) Perilaku beresiko (sekarang atau dimasa lalu).:
a. Pecandu narkotik suntikan.
b. Hubungan seksual yang tidak aman.
1) Memiliki banyak mitra seksual
2) Mitra seksual yang diketahui sebagai pasien HIV-AIDS
3) Mitra seksual dari daerah dengan prevalensi HIV-AIDS yang tinggi
4) Homoseksual

5) Pekerja pada tempat hiburan seperti : panti pijat, diskotik, karaoke atau tempat prostitusi terselubung.
6) Mempunyai riwayat penyakit menular seksual.
c. Riwayat menerima transfusi darah berulang.
d. Bayi-bayi dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS secara in-utero.
e. Riwayat perlukaan kulit :tato,tindik atau sirkumsisi dengan alat yang tidak steril.
3. Patofisiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA baru dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Retrovirus ditularkan melalui darah melalui kontak intim (seksual), dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Pada retrovirus, informasi genetik ditransmisikan melalui rantai tunggal RNA. Agar RNA mereplikasi diri, informasi ini ditransfer ke dalam nukleus sel hospes. Aliran informasi terbalik “retro” dari RNA ke DNA dibuat oleh enzim pembalik transcriptase yang terdapat dalam partikel retrovirus (Nasronuddin,2007).
Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik laten), dan menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses tersebut, HIV menghancurkan CD4+ dan limfosit. Limfosit T mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan sel lain antara lain memiliki marker permukaan seperti CD4+, CD8+ dan CD3+. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer sel dan makrofag saat ada antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker. Limfosit T juga mempunyai kemampuan untuk mensekresi sitokin seperti Interferon. Sitokin dapat mengikat sel target dan mengaktivasi proses inflamasi. Limfosit T juga membantu perkembangan sel, mengaktivasi fagositosis, dan menghancurkan sel target. Interleukin adalah sitokin yang bertugas sebagai messenger antar sel darah putih (Nursalam,2007).
Sel penjamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat pendek, yang berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel penjamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel Dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan.Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat. Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu : type HIV-1 dan type HIV-2. Type HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat (Nursalam,2007).






4. Fase-Fase Infeksi
Fase-fase Lamanya Anti body yang terdeteksi Gejala-gejala Dapat ditularkan
Periode jendela 4minggu – 6 bulan setelah terinfeksi Tidak Tidak ada Ya
Infeksi HIV primer akut 1-2 minggu Kemungkinan Sakit seperti flu Ya
Infeksi simptomatik
1-15 tahun atau lebih Ya Tidak ada Ya
Supresi imun simptomatik 3 tahun
Ya Demam,keringatan pada malam hari, penurunan BB, diare, neuropathy, keletihan, ruam kulit limfadenopaty, perlambatan kogntif, lesi oral. Ya
AIDS Bervariasi: 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS Ya Infeksi oppurtunistik berat dan tumor-tumor pada semua system tubuh, manifestasi neurologik Ya
Di Indonesia seorang dewasa (lebih dari 12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (Depkes RI, 2001).
Gejala-gejala Mayor yaitu: a)Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, b) Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, c)Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, d)Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, e)Demensia / HIV ensefalopati,
Gejala Minor yaitu:a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan, b)Dermatitis generalisata, c) Adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, d)Kandidiasis orofaringeal, e)Herpes simpleks kronik progresif, f)Limfadenopati generalisata, g)Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita, h)Retinitis cytomegalovirus.
Bila ada salah satu tanda / gejala dibawah ini, dilaporkan sebagai kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium ;a) Sarkoma Kaposi,b) Pneumoni yang mengancam jiwa dan berulang
5. Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu : air mani, darah, cairan vagina, ASI, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air mani, darah dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang diketahui adalah : (Depkes RI, 2001)
a. Penularan melalui hubungan seksual.
Hubungan seksual lewat liang dubur, lewat liang vagina, kontak dengan menggunakan mulut, dan ciuman.
b. Penularan melalui darah.
Transmisi melalui transfusi darah, penularan melalui alat suntik atau alat medis lain yang tidak steril dan pada penyalahguna narkotika yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan bergantian.
c. Penularan melalui cairan tubuh lain.
Dapat terjadi karena penerimaan organ, jaringan atau air mani.
d. Penularan secara perinatal.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan kepada bayi yang dikandungnya terutama terjadi sewaktu proses persalinan. Bayi dapat pula tertular dari ibu sewaktu masih dalam kandungan atau tertular melalui ASI.
6. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mujarab yang dapat menyembuhkan AIDS ataupun vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi HIV, oleh sebab itu maka upaya pencegahan non medis (penyuluhan dan konseling) merupakan satu-satunya upaya pencegahan yang efektif. Dalam penyuluhan tersebut penting untuk dijelaskan tentang cara penularan berikut hal-hal yang tidak menularkan HIV, termasuk pentingnya dukungan dari keluarga bila sudah positif terinfeksi. Terdapat beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pasien HIV-AIDS yaitu : 1) minum obat tepat waktu sesuai anjuran dokter (bagi yang sudah memperoleh ARV) dan mencegah infeksi sekunder, 2) konsumsi nutrisi yang adekuat, 3) aktivitas dan istirahat yang cukup, dan 4) menghindari stres.
B. Tinjauan umum tentang ARV
Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di negara maju berubah secara drastis dengan tersedianya obat anti retroviral (ARV). Obat ini menghambat replikasi virus HIV dengan menghambat enzim pembalik transkriptase. Terapi antiretroviral dengan mengkombinasi neberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Saat ini ada tiga golongan antiretroviral (ARV) yang tersedia di Indonesia : (Depkes RI, 2003)
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) : obat ini berfungsi menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah zidovudine (ZDV / AZT), lamivudine, didanosine, zalcitabine, stavudine dan abacavir.
2. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) : obat ini berbeda namun memiliki fungsi yang hampir sama dengan NRTI. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah nevirapine (NVP), efavirenz (EFV), dan delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI) : obat ini bekerja untuk menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino yang menjadi protein yang lebih kecil. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), saquinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV) dan lopinavir (LPV).
Tujuan dari terapi antiretroviral adalah : (Depkes RI, 2003).1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.2) Memperbaiki mutu hidup.3) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.4) Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.
Pemberian ARV hanya diindikasikan bagi mereka (pasien HIV-AIDS) yang memenuhi kriteria sebagai berikut : (Depkes RI, 2003)1) Infeksi yang telah dikonfirmasi dengan tes antibodi.2)Keputusan untuk mulai menggunakan ARV diambil setelah pasien dan keluarga atau pendamping mendapat informasi yang lengkap tentang dana yang dibutuhkan, jaminan kepatuhan berobat yang tinggi, efek samping yang mungkin terjadi, dan lain-lain.3) Indikasi laboratorium atau klinis sebagai berikut :Penyakit HIV stadium IV (WHO) tanpa memperhatikan jumlah CD4; atau jika tes CD4 dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun dibawah 200; atau jika tes CD4 tidak dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II atau III (WHO), dengan limfosit total dibawah 1200.
C. Tinjauan umum tentang kepatuhan minum obat pada pasien HIV
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secaa benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien di libatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak. Sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterapkan oleh dokter/apotekernya. Kepatuhan ini amat penting dalam pelaksanaan ART, karena:
Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam dara maka akan memungkinkan berkembangnya resistensi. Meminum dosis obat tepat waktu dan meminumnya secara benar (mis. Bersama makanan vs lambung kosong) adalah penting untuk mencegah terjadinya resistensi.Derajat kepatuhan sangat berkorelasi dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi virus.
Terdapat korelasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan:
1. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, disamping meningkatkan efektivitasjuga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resistensi erhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya perjalanan penyakit.
2. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ART harus diminum seumur hidup secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk berkaitan dengan makanan.
3. kiat penting untuk mengingat minum obat:
a. Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
b. Harus selalu tersedia obat di mana pun biasanya penderita berada, misalnya di kantor, di rumah, dan lain-lain.
c. Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas dan lain-lain asal tidak memerlukan lemari es)
d. Pergunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bias diatur agar berbunyi setiap waktunya minum obat)
e. Pergunakan pelayanan pager untuk mengingatkan waktu saat minum obat.
D. Tinjauan umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, ketepatan berobat (Sacket 1985 dalam Daili, 1997).
Ketaatan atau kepatuhan merupakan perilaku yang disampaikan secara berkesinambungan oleh seseorang dalam kesehariannya yang berasal dari adanya suatu motivasi yang memiliki komponen emosional (afektif), sehingga mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan cenderung diulang karena menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menyenangkan (Irwanto, 1996).
Sementara Lilja (1985) menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita tidak hanya kepatuhan terhadap pengobatan dan diet yang ditinjau dari segi kesehatan, tetapi juga upaya penderita berobat ke dukun penyembuh berkurang.
Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara lain kepatuhan berobat yang dinyatakan oleh Sacket (1985) dan Saratino (1990). Sacket menyatakan bahwa kepatuhan berobat dapat diketahui melalui tujuh (7) cara yaitu : 1) Kepatuhan dokter yang bersangkutan didasarkan pada hasil pemeriksaan, 2) Pengamatan terhadap jadwal pengobatan, 3) Penilaian pada tujuan pengobatan, 4) Penghitungan jumlah tablet (pil) pada akhir pengobatan, 5) Pengukuran kadar obat dalam darah dan urin, 6) wawancara pada penderita dan 7) Pengisian formulir khusus. Saratino menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita dapat diketahui melalui tiga cara yaitu : 1) Perhitungan sisa obat secara manual, 2) Perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektronik serta, 3) pengukuran berdasarkan tes biokimia (kadar obat) dalam darah dan urin (Daili, 1997).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang tidak patuh untuk berobat adalah antara lain :
1. Pengetahuan.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga(Notoatmodjo, 2003).
Sesuai dengan pendapat Kuncoroningrat yang dikutip Nursalam & Siti Pariani ( 2001) bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan meghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai – nilai baru yang diperkenalkan. Demikian pula pendapat Notoadmojo (1996) bahwa pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya.
Penderita HIV yang berpengetahuan cukup akan berbuat secara teratur dan terhindar dari ketidak patuhan , hal ini dapat dipahami karna dengan pengetahuannnya tentang penyakit HIV, tentang pentingnya kesehatan dan perlunya berobat teratur maka mereka akan terdorong berobat secara teratur. Begitupun sebaliknya tingkat pegetahuan rendah akan mempunyai resiko tidak patuh karna kurang memahami tentang penyakit yang dideritanya sehingga cenderung malas minum obat dan hanya akan mencari pengobatan jika keadaan penyakitnya sudah parah.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).
2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh keluarga untuk melakukan sesuatu terhadap penderita HIV. Dukungan keluarga ini tidak terlepas dari lima fungsi perawatan kesehatan keluarga yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, keluarga mampu mengambil keputusan, keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan, keluarga mampu memodifikasi lingkungan keluarga dalam rangka meningkatkan kesehatan keluarga dan keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk dalam rangka menangani masalah kesehatan yang dihadapi oleh keluarga (Keliat, 1992).
3. Reaksi simpang obat
Pasien yang sedang mendapatkan HAART ( Highly Active Anti Retroviral Therapy ) umumnya menderita reaksi simpang obat. Sebagai akibatnya, pengobatan infeksi HIV merupakan tindakan yang kompleks antara menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan resiko toksisitas obat. Sekitar 25 % penderita menghentikan tetapi pada tahun pertama karena reaksi simpang obat. Dan 25 % penderita tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan reaksi simpang yang ditimbulkan oleh ARV (Ammassari, 20001).
Pasien HIV yang melaporkan mengalami reaksi simpang obat yang signifikan, cendrung untuk tidak patuh pada pengobatan (Ammassari, 20001). Hal ini sangat meugikan pasien karena bisa menimbulkan resistensi obat dan memburuknya kondisi klien. Karena itu peran perawatan sangat penting dalam memberi konseling dan pendidikan kesehatan tentang reaksi simpang ARV dan perawatannya, pentingnya kepatuhan, interaksi obat, dan segala sesuatu hal yang menyangut pengobatan ARV. Peran yang tak kalah penting adalah memoritor secara teratur pasien untuk deteksi dini reaksi simpang ARV dan bisa segera mengatasi reaksi simpang yang timbul bersama dokter dan tenaga kesehatan lain serta pasien itu sendiri.
a. Reaksi simpang obat Berdasarkan Kelas ARV(nursalam dkk 2007)
Reaksi simpang obat terjadi pada semua obat dari klas spesifik di bawah ini:
1) NRTI. Pada umumnya obat-obatan jenis ini memiliki efek samping berupa terajinya toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat/toksisitas hepar. Gejala asidosis laktat dapat terjadi selama 1 sampai 20 bulan setelah permulaan ART. Gejala yang muncul biasanya berupa: Mual, muntah,Nyeri perut,Hepatomegali,Dispnue atau takipnue,Fatigue dan Penurunan BB secara cepat tanpa sebab yang di ketahui. Bila gejala-gejala tersebut di temukan segera hentikan pemberian ART. Jika terjadi Asosiasi laktat, maka restart ART. Setelah terjadi perbaikan gejala maka:restart ART dengan 1 PI, 1 NNRTI dan ABC atau TDF; sedangkan AZT, 3Tc, d4T, dan ddI harus di hindari.
2) NNRTI. Untuk obat-obatan dari jenis NNRTI efek sampingnya adalah adanya ruam kulit dan hepatitis. Penggunaan non-nukleosida RT inhibitors menyebabkan terjadinya ruam kulit. Ruam eritematous dan maculo papular dapat berkembang menjadi steven Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Ruam karena nevirapine lebih umum dan lebih berat dialami wanita (12% vs 8%). Biasanya terjadi dalam empat minggu pertama pengobatan ruam kulit karena NNRTIs (Nursalam,2007).
b. Kapan harus mengganti terapi
Ada saatnya pasien dan dokter pendampingnya harus merevisi kembali terapi yang di lakukan selama ini. Ada saat kritis dimana terapi ARV pada penderita HIV harus di ganti hal itu di sebabkan : Adanya Reaksi simpang salah satu obat dari kombinasi tiga obat atau terjadi resistensi yang menyebabkan harus dialakukannya penggantian seluruh regimen dengan regimen lini kedua (Nursalam,2007).
4. Monitoring/Pendampingan
Selain adanya kesadaran pasien untuk mematuhi peraturan ARV, diperlukan juga adanya monitoring yang dilakukan oleh pihak yang berwenang (perawat, konselor, dan dokter) atau pihak yang berhubungan dengan ODHA lainya. Upaya monitoring terdiri atas:
a. Monitoring berkala, monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1) Monitoring kepatuhan yang harus didiskusikan pada setiap kunjungan.
2) Monitoring efek samping ARV, yang terdiri atas pertanyaan langsung, pemeriksaan klinis dan tes laboratarium.
3) Monitoring keberhasilan ARV, monitoring ini berupa indicator klinis misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4, dan viral load.
b. Monitoring klinis. Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukan pemeriksaan klinis.
1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika terjadi efek samping
2) Kunjungan bulanan sesudahnya, atau lebih bila di perlukan.
3) Tiap kunjungan tanyakan tentang gejala, kepatuhan, masalah yang berhubungan dengan HIV dan non HIV, dan kualitas hidup.
4) Pemeriksaan fisik, berat badan, dan suhu.
5. Kemiskinan /Biaya
Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biasanya relatif murah, namun masih banyak di antara penduduk Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan ke rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat atau mereka sudah mencoba ke rumah sakit dan setelah mendapatkan resep harus menebus obat dengan harga yang mahal(Notoatmojo,2003).
6. Kepercayaan
Masih banyak masyarakat yang lebih percaya kepada dukun daripada tenaga kesehatan karena pengaruh dukun dalam masyarakat sangat besar khususnya di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa dukun tidak hanya bisa mengobati penyakitnya tetapi juga memberikan perlindungan emosional (emotional security)(Notoatmojo,2003).
7. Pendidikan.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni : 1) Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), 2) Proses (uapaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), 3) Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasif, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan atau penyuluhan. Dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian apabila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, akan langgeng bahkan selama hidup dilaksanakan.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diorganisir secara bertingkat-tingkat mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung secara terpadu dengan kegiatan hidup sehari-hari dan merupakan proses yang paling tua dan paling lama dalam kehidupan manusia. Ia meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap dan cara hidup pada umumnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas pengetahuan yang dimiliki, karena telah melalui proses belajar yang tidak didapatkan pada tingkat pendidikan sebelumnya. Dalam proses belajar akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang dalam diri individu (Notoatmodjo, 2003).


















BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan melalui pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses dan output. Variabel independent faktor pendidikan , faktor pengetahuan , faktor kepercayaan, faktor pekerjaan, faktor reaksi simpang obat, faktor biaya, faktor Pendampingan, faktor dukungan keluarga sebagai input dan variabel Dependent Kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV sebagai output. Skema kerangka konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


Variable Independent Variabel Dependent


















── = di teliti
---- = tidak diteliti

B. Hipotesis
Hipotesis alternatif/Hi :
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan penderita dengan kepatuhan berobat pasien HIV
2. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat penderita HIV
3. Ada hubungan antara reaksi simpang obat dengan kepatuhan berobat penderita HIV
4. Ada hubungan antara pendampingan dengan kepatuhan berobat penderita HIV












BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian
Dalam penelitian ini Metode penelitian yang di gunakan adalah metode “deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional” dimana penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
Pada penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat pengetahuan penderita, dukungan keluarga, Pendampingan dan reaksi simpang obat dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
B. Tempat dan waktu penelitian
Lokasi penelitian di sini adalah tempat dimana penelitian itu dilaksanakan. Yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar dan berlangsung selama 1 bulan yaitu 15 oktober s/d 15 November 2008
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita HIV yang terdaftar di Klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar yang berjumlah 53 orang yang sementara menjalani pengobatan


2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Oleh karena jumlah populasi yang diteliti pada penelitian ini sedikit, maka peneliti menjadikan semua populasi yang sesuai kriteria inklusi menjadi sampel penelitian (Total sampling), dengan kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi :
1) Penderita yang bersedia menjadi responden.
2) Penderita yang dewasa (>18 tahun).
3) Penderita yang terdaftar pada klinik VCT Puskesmas Ujung Pandang Baru.
4) Penderita yang berobat > 3 bulan
b. Kriteria Ekslusi:
1) Penderita yang tidak bersedia menjadi responden.
2) Penderita HIV yang tidak menggunakan terapi ARV

3. Besar sampel
Dalam pemilihan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan Total sampling atau pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Pasien yang terdaftar di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar berjumlah 53 orang, yang sesuai dengan kriteria inklusi hanya 34 orang.

D. Alur penelitian













Gambar 4.1 : Kerangka Kerja Penelitian.
E. Variabel penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dll). Semua variabel yang diteliti harus didentifikasi, mana yang termasuk variabel bebas (independent), variabel tergantung (dependent), variabel pengontrol dan variabel perancu.



2. Defenisi Operasional Kriteria Objektif
a. Kepatuhan berobat penderita HIV adalah penderita HIV yang memeriksakan diri dan menelan obat sesuai jadwal dan aturan yang berlaku secara rutin.
Kriteria objektif
Patuh : bila penderita rutin minum obat
Tidak patuh : apabila penderita minum obat tidak rutin
b. Pengetahuan adalah kemampuan penderita untuk memahami dan mengerti tentang penyakit HIV dan terapi ARV.
Kriteria Objektif :
Baik : Jika mampu memberikan jawaban benar ≥ 24
Kurang : Jika mampu memberikan jawaban benar < 24
c. Dukungan keluarga adalah peran serta keluarga membantu dan mendorong penderita HIV untuk patuh minum obat.
Kriteria objektif :
Baik : apabila klien menjawab YA ≥ 15
Kurang : apabila klien menjawab TIDAK < 15
d. Reaksi simpang obat adalah reaksi yang terjadi dalam masa pengobatan
kriteria objektif
Positif : apabila klien menjawab YA ≥ 7.5
Negatif : apabila klien menjawab TIDAK < 7.5
e. Pendamping adalah seseorang baik dari keluarga, LSM, teman atau petugas kesehatan yang bertugas mengawasi pasien HIV dalam menjalankan pengobatan
Kriteria objektif :
Ada : apabila klien menjawab ADA
Tidak ada : apabila klien menjawab TIDAK ADA
F. Rencana pengolahan dan analisa data
1. Instrumen pengumpulan data
Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Peneliti mengumpulkan data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuissioner dan sebagai subjek penelitian adalah penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi. Kuisioner yang disebarkan adalah kuisioner yang dibuat oleh peneliti sendiri, yang berisi data demografi yang terdiri dari umur, dan status perkawinan. Kemudian kuissioner tersebut juga berisikan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada variabel independent. Pertanyaan pada kuissioner ini merupakan pertanyaan dalam bentuk tertutup (closed ended questions) dimana telah disediakan jawaban alternatif, tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita dengan 15 pertanyaan dengan penilaian dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1, pendampingan yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1 dan dukungan keluarga yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1. Dan reaksi simpang obat tediri dari 5 pertanyaan dengan penilaian dengan menggunakan skala Guttman dimana jawaban”YA”di beri nilai 2 dan jawaban “TIDAK”di beri nilai 1.
2. Pengolahan data
Setelah data terkumpul, dilanjutkan dengan pengolahan data secara manual. Sebelum data di analisa terlebih dahulu diadakan :
a. Editing
Setelah data terkumpul peneliti akan memeriksa kelengkapan data menurut karakteristiknya masing-masing, memeriksa kesinambungan tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita,dan dukungan keluarga.
b. Koding
Data yang telah dikumpulkan diberi kode menurut jawaban responden, baik data tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita, dan dukungan keluarga.
c. Tabulasi
Untuk memudahkan analisa data, maka data dikelompokkan ke dalam tabel kerja, kemudian data dianalisa secara statistik deskriptif melalui perhitungan persentasi dan hasil perhitungan jumlah.
3. Analisa data
a. Analisa Univariat
Untuk mengetahui dan memperlihatkan distribusi frekuensi serta presentase dari tiap variabel yang diteliti.


b. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui hubungan tiap variabel independent dan variabel dependent yang diuji dengan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan α = < 0,05. Uji statistik dengan menggunakan komputer program SPSS versi 12,0.
G. Etika penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Kepala puskesmas Ujung Pandang baru Kota Makassar untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kuissioner diberikan kepada subjek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed consent.
Sebelum melakukan penelitian maka akan diedarkan lembar persetujuan untuk menjadi responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan tujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya, jika subyek bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien
2. Anonimity (tanpa nama).
Menjelaskan bentuk alat ukur dengan tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data.


3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpul disimpan dalam CD dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan pembimbing.