Sabtu, 09 Juli 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS (Acquireed Imuno Deficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Deficyency Virus) yang mudah menular dan mematikan. HIV terus menerus merusak sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang sehat mengendalikan kuman agar tidak menyebabkan penyakit namun setelah beberapa waktu sistem kekebalan menjadi begitu rusak sehingga kuman dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya kematian. AIDS terjadi sewaktu sistem kekebalan menjadi terlalu lemah, dan disertai dengan infeksi yang dinamakan infeksi oppurtunistik, kurang lebih 7-10 tahun setelah penularan HIV (Nursalam dkk, 2007).
Jumlah orang yang terinfeksi terus meningkat pesat dan tersebar luas di seluruh dunia. WHO (World Health Organization) menyebutkan hingga akhir Desember 2000, disebutkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi HIV masih tetap berlangsung, 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Di Indonesia sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun 1987 hingga akhir 2002 telah di laporkan orang yang rawan tertular HIV berkisar antara 13 juta sampai 20 juta orang, sedangkan orang dengan HIV diperkirakan antara 90 ribu sampai 130 ribu orang (Nasronuddin,2007).
Di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi juga tidak lepas dari kasus HIV/AIDS hingga april 2007 terdapat sekitar 1639 orang telah terjangkit, Makassar sendiri di perkirakan terdapat 1423 orang terinfeksi HIV/AIDS dan ter khusus di PKM Jumpandang Baru data yang di peroleh hingga akhir oktober 2008 sebanyak 53 orang. Dan ini berarti jumlah penduduk akan semakin berkurang bukan saja karena keberhasilan program KB tetapi oleh karena kematian akibat penderita HIV/AIDS yang cenderung meningkat (Nasronuddin, 2004). Pada pasien HIV/AIDS sistem imunitasnya akan mengalami penurunan. Seseorang yang dinyatakan terinfeksi HIV butuh waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung kondisi fisik dan psikologinya, namun sejak dinyatakan terinfeksi HIV sering penderita mengalami stress, dikarenakan tingginya tekanan emosional yang mereka terima.
Sampai saat ini HIV/AIDS belum bisa di sembuhkan namun infeksi yang terjadi masih bisa diobati ataupun dicegah dengan obat. Sekarang tersedia jenis obat baru yang dapat mempertahankan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) selama bertahun-tahun, yaitu ARV (anti retroviral). Terapi ARV diberikan kepada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oppurtunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup, dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS.
Tetapi ARV merupakan terapi yang digunakan dengan menggunakan obat. Resistensi terhadap obat-obat tersebut sangat mudah terjadi apabila dosisnya dilewatkan, dan penelitian menunjukkan bahwa pasien perlu memakai sedikitnya 95 % dosis untuk tetap mempertahankan menekan virus. Ini berarti tidak melewatkan lebih dari tiga dosis dalam sebulan untuk pengobatan dua kali sehari, dan tetap mempertahankan tingkat kepatuhan secara terus-menerus. (Keith Alcorn, 2007)
Mempertahankan kepatuhan pasien membutuhkan kewaspadaan. Penelitian di Negeria dilakukan di Rumah Sakit Universitas Abuja dan Institute Of Human Virology Universitas Maryland tahun 2006 menemukan bahwa satu diantara lima pasien dilaporkan tingkat kepatuhannya kurang dari 95 % (keith alcorn,2007 ).
Pengobatan ARV dapat menekan replikasi virus HIV, sehingga virus HIV dalam bentuk bebas (viral load) berkurang sampai tidak dapat terdeteksi lagi. Apabila pengobatan ARV dihentikan, replikasi virus kembali terjadi dan biasanya akan terjadi resistensi terhadap pengobatan ARV terdahulu sehingga perlu diganti dengan obat kombinasi yang baru. Keberhasilan pengobatan ARV di tentukan oleh kepatuhan pasien terhadap terapi dan dapat di evaluasi melalui viral load.
Pengobatan ARV dilakukan seumur hidup untuk menghambat replikasi virus HIV dan menekan Viral load, oleh karena itu kepatuhan terhadap pengobatan ini sangatlah berarti bagi pasien HIV.
Kepatuhan terhadap terapi ARV sangat di tentukan oleh berbagai factor diantaranya: pendidikan, pengetahuan, dukungan keluarga, biaya, kepercayaan, pekerjaan, pendampingan dan reaksi simpang obat.
Faktor-faktor ini turut menentukan kepatuhan penderita minum obat karena seorang penderita dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang baik, akan secara rutin minum obat untuk mengurangi dan menyembuhkan penyakitnya. Demikian juga dengan dukungan keluarga. Keluarga yang mampu melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga, akan mampu untuk menjaga kesehatan dan selalu memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang menderita HIV untuk selalu minum obat. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dapat di rumuskan bahwa pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui ada hubungan pengetahuan tentang terapi ARVdengan tingkat kepatuhan pasien HIV
b. Diketahui ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
c. Diketahui ada hubungan reaksi simpang obat dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
d. Diketahui ada hubungan pendampingan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Institusi
Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya keberhasilan terapi ARV pada pasien HIV.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.
3. Manfaat klinis
a. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV untuk menjalani terapi ARV
b. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan konstribusi yang positif bagi pasien HIV/AIDS dan keluarganya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG HIV/AIDS
1. Defenisi AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pertama kali diketahui pada tahun 1981 sebagai penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus, yang sebelumnya tidak diketahui, dan dikenal sebagai HIV. Pada tahun 1982 AIDS didefinisikan oleh Centers for Disease Control and Prevention , sebagai suatu penyakit fatal secara keseluruhan, yang kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan perawatan yang canggih selama perjalanan penyakit (Nursalam,2007).
2. Epidemologi
Faktor resiko epidemiologis meliputi : (Depkes RI, 2001) Perilaku beresiko (sekarang atau dimasa lalu).:
a. Pecandu narkotik suntikan.
b. Hubungan seksual yang tidak aman.
1) Memiliki banyak mitra seksual
2) Mitra seksual yang diketahui sebagai pasien HIV-AIDS
3) Mitra seksual dari daerah dengan prevalensi HIV-AIDS yang tinggi
4) Homoseksual

5) Pekerja pada tempat hiburan seperti : panti pijat, diskotik, karaoke atau tempat prostitusi terselubung.
6) Mempunyai riwayat penyakit menular seksual.
c. Riwayat menerima transfusi darah berulang.
d. Bayi-bayi dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS secara in-utero.
e. Riwayat perlukaan kulit :tato,tindik atau sirkumsisi dengan alat yang tidak steril.
3. Patofisiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA baru dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Retrovirus ditularkan melalui darah melalui kontak intim (seksual), dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Pada retrovirus, informasi genetik ditransmisikan melalui rantai tunggal RNA. Agar RNA mereplikasi diri, informasi ini ditransfer ke dalam nukleus sel hospes. Aliran informasi terbalik “retro” dari RNA ke DNA dibuat oleh enzim pembalik transcriptase yang terdapat dalam partikel retrovirus (Nasronuddin,2007).
Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik laten), dan menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses tersebut, HIV menghancurkan CD4+ dan limfosit. Limfosit T mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan sel lain antara lain memiliki marker permukaan seperti CD4+, CD8+ dan CD3+. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer sel dan makrofag saat ada antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker. Limfosit T juga mempunyai kemampuan untuk mensekresi sitokin seperti Interferon. Sitokin dapat mengikat sel target dan mengaktivasi proses inflamasi. Limfosit T juga membantu perkembangan sel, mengaktivasi fagositosis, dan menghancurkan sel target. Interleukin adalah sitokin yang bertugas sebagai messenger antar sel darah putih (Nursalam,2007).
Sel penjamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat pendek, yang berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel penjamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel Dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan.Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat. Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu : type HIV-1 dan type HIV-2. Type HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat (Nursalam,2007).






4. Fase-Fase Infeksi
Fase-fase Lamanya Anti body yang terdeteksi Gejala-gejala Dapat ditularkan
Periode jendela 4minggu – 6 bulan setelah terinfeksi Tidak Tidak ada Ya
Infeksi HIV primer akut 1-2 minggu Kemungkinan Sakit seperti flu Ya
Infeksi simptomatik
1-15 tahun atau lebih Ya Tidak ada Ya
Supresi imun simptomatik 3 tahun
Ya Demam,keringatan pada malam hari, penurunan BB, diare, neuropathy, keletihan, ruam kulit limfadenopaty, perlambatan kogntif, lesi oral. Ya
AIDS Bervariasi: 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS Ya Infeksi oppurtunistik berat dan tumor-tumor pada semua system tubuh, manifestasi neurologik Ya
Di Indonesia seorang dewasa (lebih dari 12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (Depkes RI, 2001).
Gejala-gejala Mayor yaitu: a)Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, b) Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, c)Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, d)Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, e)Demensia / HIV ensefalopati,
Gejala Minor yaitu:a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan, b)Dermatitis generalisata, c) Adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, d)Kandidiasis orofaringeal, e)Herpes simpleks kronik progresif, f)Limfadenopati generalisata, g)Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita, h)Retinitis cytomegalovirus.
Bila ada salah satu tanda / gejala dibawah ini, dilaporkan sebagai kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium ;a) Sarkoma Kaposi,b) Pneumoni yang mengancam jiwa dan berulang
5. Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu : air mani, darah, cairan vagina, ASI, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air mani, darah dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang diketahui adalah : (Depkes RI, 2001)
a. Penularan melalui hubungan seksual.
Hubungan seksual lewat liang dubur, lewat liang vagina, kontak dengan menggunakan mulut, dan ciuman.
b. Penularan melalui darah.
Transmisi melalui transfusi darah, penularan melalui alat suntik atau alat medis lain yang tidak steril dan pada penyalahguna narkotika yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan bergantian.
c. Penularan melalui cairan tubuh lain.
Dapat terjadi karena penerimaan organ, jaringan atau air mani.
d. Penularan secara perinatal.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan kepada bayi yang dikandungnya terutama terjadi sewaktu proses persalinan. Bayi dapat pula tertular dari ibu sewaktu masih dalam kandungan atau tertular melalui ASI.
6. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mujarab yang dapat menyembuhkan AIDS ataupun vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi HIV, oleh sebab itu maka upaya pencegahan non medis (penyuluhan dan konseling) merupakan satu-satunya upaya pencegahan yang efektif. Dalam penyuluhan tersebut penting untuk dijelaskan tentang cara penularan berikut hal-hal yang tidak menularkan HIV, termasuk pentingnya dukungan dari keluarga bila sudah positif terinfeksi. Terdapat beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pasien HIV-AIDS yaitu : 1) minum obat tepat waktu sesuai anjuran dokter (bagi yang sudah memperoleh ARV) dan mencegah infeksi sekunder, 2) konsumsi nutrisi yang adekuat, 3) aktivitas dan istirahat yang cukup, dan 4) menghindari stres.
B. Tinjauan umum tentang ARV
Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di negara maju berubah secara drastis dengan tersedianya obat anti retroviral (ARV). Obat ini menghambat replikasi virus HIV dengan menghambat enzim pembalik transkriptase. Terapi antiretroviral dengan mengkombinasi neberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Saat ini ada tiga golongan antiretroviral (ARV) yang tersedia di Indonesia : (Depkes RI, 2003)
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) : obat ini berfungsi menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah zidovudine (ZDV / AZT), lamivudine, didanosine, zalcitabine, stavudine dan abacavir.
2. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) : obat ini berbeda namun memiliki fungsi yang hampir sama dengan NRTI. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah nevirapine (NVP), efavirenz (EFV), dan delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI) : obat ini bekerja untuk menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino yang menjadi protein yang lebih kecil. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), saquinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV) dan lopinavir (LPV).
Tujuan dari terapi antiretroviral adalah : (Depkes RI, 2003).1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.2) Memperbaiki mutu hidup.3) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.4) Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.
Pemberian ARV hanya diindikasikan bagi mereka (pasien HIV-AIDS) yang memenuhi kriteria sebagai berikut : (Depkes RI, 2003)1) Infeksi yang telah dikonfirmasi dengan tes antibodi.2)Keputusan untuk mulai menggunakan ARV diambil setelah pasien dan keluarga atau pendamping mendapat informasi yang lengkap tentang dana yang dibutuhkan, jaminan kepatuhan berobat yang tinggi, efek samping yang mungkin terjadi, dan lain-lain.3) Indikasi laboratorium atau klinis sebagai berikut :Penyakit HIV stadium IV (WHO) tanpa memperhatikan jumlah CD4; atau jika tes CD4 dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun dibawah 200; atau jika tes CD4 tidak dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II atau III (WHO), dengan limfosit total dibawah 1200.
C. Tinjauan umum tentang kepatuhan minum obat pada pasien HIV
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secaa benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien di libatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak. Sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterapkan oleh dokter/apotekernya. Kepatuhan ini amat penting dalam pelaksanaan ART, karena:
Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam dara maka akan memungkinkan berkembangnya resistensi. Meminum dosis obat tepat waktu dan meminumnya secara benar (mis. Bersama makanan vs lambung kosong) adalah penting untuk mencegah terjadinya resistensi.Derajat kepatuhan sangat berkorelasi dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi virus.
Terdapat korelasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan:
1. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, disamping meningkatkan efektivitasjuga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resistensi erhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya perjalanan penyakit.
2. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ART harus diminum seumur hidup secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk berkaitan dengan makanan.
3. kiat penting untuk mengingat minum obat:
a. Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
b. Harus selalu tersedia obat di mana pun biasanya penderita berada, misalnya di kantor, di rumah, dan lain-lain.
c. Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas dan lain-lain asal tidak memerlukan lemari es)
d. Pergunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bias diatur agar berbunyi setiap waktunya minum obat)
e. Pergunakan pelayanan pager untuk mengingatkan waktu saat minum obat.
D. Tinjauan umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, ketepatan berobat (Sacket 1985 dalam Daili, 1997).
Ketaatan atau kepatuhan merupakan perilaku yang disampaikan secara berkesinambungan oleh seseorang dalam kesehariannya yang berasal dari adanya suatu motivasi yang memiliki komponen emosional (afektif), sehingga mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan cenderung diulang karena menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menyenangkan (Irwanto, 1996).
Sementara Lilja (1985) menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita tidak hanya kepatuhan terhadap pengobatan dan diet yang ditinjau dari segi kesehatan, tetapi juga upaya penderita berobat ke dukun penyembuh berkurang.
Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara lain kepatuhan berobat yang dinyatakan oleh Sacket (1985) dan Saratino (1990). Sacket menyatakan bahwa kepatuhan berobat dapat diketahui melalui tujuh (7) cara yaitu : 1) Kepatuhan dokter yang bersangkutan didasarkan pada hasil pemeriksaan, 2) Pengamatan terhadap jadwal pengobatan, 3) Penilaian pada tujuan pengobatan, 4) Penghitungan jumlah tablet (pil) pada akhir pengobatan, 5) Pengukuran kadar obat dalam darah dan urin, 6) wawancara pada penderita dan 7) Pengisian formulir khusus. Saratino menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita dapat diketahui melalui tiga cara yaitu : 1) Perhitungan sisa obat secara manual, 2) Perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektronik serta, 3) pengukuran berdasarkan tes biokimia (kadar obat) dalam darah dan urin (Daili, 1997).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang tidak patuh untuk berobat adalah antara lain :
1. Pengetahuan.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga(Notoatmodjo, 2003).
Sesuai dengan pendapat Kuncoroningrat yang dikutip Nursalam & Siti Pariani ( 2001) bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan meghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai – nilai baru yang diperkenalkan. Demikian pula pendapat Notoadmojo (1996) bahwa pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya.
Penderita HIV yang berpengetahuan cukup akan berbuat secara teratur dan terhindar dari ketidak patuhan , hal ini dapat dipahami karna dengan pengetahuannnya tentang penyakit HIV, tentang pentingnya kesehatan dan perlunya berobat teratur maka mereka akan terdorong berobat secara teratur. Begitupun sebaliknya tingkat pegetahuan rendah akan mempunyai resiko tidak patuh karna kurang memahami tentang penyakit yang dideritanya sehingga cenderung malas minum obat dan hanya akan mencari pengobatan jika keadaan penyakitnya sudah parah.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).
2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh keluarga untuk melakukan sesuatu terhadap penderita HIV. Dukungan keluarga ini tidak terlepas dari lima fungsi perawatan kesehatan keluarga yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, keluarga mampu mengambil keputusan, keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan, keluarga mampu memodifikasi lingkungan keluarga dalam rangka meningkatkan kesehatan keluarga dan keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk dalam rangka menangani masalah kesehatan yang dihadapi oleh keluarga (Keliat, 1992).
3. Reaksi simpang obat
Pasien yang sedang mendapatkan HAART ( Highly Active Anti Retroviral Therapy ) umumnya menderita reaksi simpang obat. Sebagai akibatnya, pengobatan infeksi HIV merupakan tindakan yang kompleks antara menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan resiko toksisitas obat. Sekitar 25 % penderita menghentikan tetapi pada tahun pertama karena reaksi simpang obat. Dan 25 % penderita tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan reaksi simpang yang ditimbulkan oleh ARV (Ammassari, 20001).
Pasien HIV yang melaporkan mengalami reaksi simpang obat yang signifikan, cendrung untuk tidak patuh pada pengobatan (Ammassari, 20001). Hal ini sangat meugikan pasien karena bisa menimbulkan resistensi obat dan memburuknya kondisi klien. Karena itu peran perawatan sangat penting dalam memberi konseling dan pendidikan kesehatan tentang reaksi simpang ARV dan perawatannya, pentingnya kepatuhan, interaksi obat, dan segala sesuatu hal yang menyangut pengobatan ARV. Peran yang tak kalah penting adalah memoritor secara teratur pasien untuk deteksi dini reaksi simpang ARV dan bisa segera mengatasi reaksi simpang yang timbul bersama dokter dan tenaga kesehatan lain serta pasien itu sendiri.
a. Reaksi simpang obat Berdasarkan Kelas ARV(nursalam dkk 2007)
Reaksi simpang obat terjadi pada semua obat dari klas spesifik di bawah ini:
1) NRTI. Pada umumnya obat-obatan jenis ini memiliki efek samping berupa terajinya toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat/toksisitas hepar. Gejala asidosis laktat dapat terjadi selama 1 sampai 20 bulan setelah permulaan ART. Gejala yang muncul biasanya berupa: Mual, muntah,Nyeri perut,Hepatomegali,Dispnue atau takipnue,Fatigue dan Penurunan BB secara cepat tanpa sebab yang di ketahui. Bila gejala-gejala tersebut di temukan segera hentikan pemberian ART. Jika terjadi Asosiasi laktat, maka restart ART. Setelah terjadi perbaikan gejala maka:restart ART dengan 1 PI, 1 NNRTI dan ABC atau TDF; sedangkan AZT, 3Tc, d4T, dan ddI harus di hindari.
2) NNRTI. Untuk obat-obatan dari jenis NNRTI efek sampingnya adalah adanya ruam kulit dan hepatitis. Penggunaan non-nukleosida RT inhibitors menyebabkan terjadinya ruam kulit. Ruam eritematous dan maculo papular dapat berkembang menjadi steven Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Ruam karena nevirapine lebih umum dan lebih berat dialami wanita (12% vs 8%). Biasanya terjadi dalam empat minggu pertama pengobatan ruam kulit karena NNRTIs (Nursalam,2007).
b. Kapan harus mengganti terapi
Ada saatnya pasien dan dokter pendampingnya harus merevisi kembali terapi yang di lakukan selama ini. Ada saat kritis dimana terapi ARV pada penderita HIV harus di ganti hal itu di sebabkan : Adanya Reaksi simpang salah satu obat dari kombinasi tiga obat atau terjadi resistensi yang menyebabkan harus dialakukannya penggantian seluruh regimen dengan regimen lini kedua (Nursalam,2007).
4. Monitoring/Pendampingan
Selain adanya kesadaran pasien untuk mematuhi peraturan ARV, diperlukan juga adanya monitoring yang dilakukan oleh pihak yang berwenang (perawat, konselor, dan dokter) atau pihak yang berhubungan dengan ODHA lainya. Upaya monitoring terdiri atas:
a. Monitoring berkala, monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1) Monitoring kepatuhan yang harus didiskusikan pada setiap kunjungan.
2) Monitoring efek samping ARV, yang terdiri atas pertanyaan langsung, pemeriksaan klinis dan tes laboratarium.
3) Monitoring keberhasilan ARV, monitoring ini berupa indicator klinis misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4, dan viral load.
b. Monitoring klinis. Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukan pemeriksaan klinis.
1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika terjadi efek samping
2) Kunjungan bulanan sesudahnya, atau lebih bila di perlukan.
3) Tiap kunjungan tanyakan tentang gejala, kepatuhan, masalah yang berhubungan dengan HIV dan non HIV, dan kualitas hidup.
4) Pemeriksaan fisik, berat badan, dan suhu.
5. Kemiskinan /Biaya
Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biasanya relatif murah, namun masih banyak di antara penduduk Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan ke rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat atau mereka sudah mencoba ke rumah sakit dan setelah mendapatkan resep harus menebus obat dengan harga yang mahal(Notoatmojo,2003).
6. Kepercayaan
Masih banyak masyarakat yang lebih percaya kepada dukun daripada tenaga kesehatan karena pengaruh dukun dalam masyarakat sangat besar khususnya di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa dukun tidak hanya bisa mengobati penyakitnya tetapi juga memberikan perlindungan emosional (emotional security)(Notoatmojo,2003).
7. Pendidikan.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni : 1) Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), 2) Proses (uapaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), 3) Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasif, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan atau penyuluhan. Dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian apabila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, akan langgeng bahkan selama hidup dilaksanakan.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diorganisir secara bertingkat-tingkat mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung secara terpadu dengan kegiatan hidup sehari-hari dan merupakan proses yang paling tua dan paling lama dalam kehidupan manusia. Ia meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap dan cara hidup pada umumnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas pengetahuan yang dimiliki, karena telah melalui proses belajar yang tidak didapatkan pada tingkat pendidikan sebelumnya. Dalam proses belajar akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang dalam diri individu (Notoatmodjo, 2003).


















BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan melalui pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses dan output. Variabel independent faktor pendidikan , faktor pengetahuan , faktor kepercayaan, faktor pekerjaan, faktor reaksi simpang obat, faktor biaya, faktor Pendampingan, faktor dukungan keluarga sebagai input dan variabel Dependent Kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV sebagai output. Skema kerangka konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


Variable Independent Variabel Dependent


















── = di teliti
---- = tidak diteliti

B. Hipotesis
Hipotesis alternatif/Hi :
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan penderita dengan kepatuhan berobat pasien HIV
2. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat penderita HIV
3. Ada hubungan antara reaksi simpang obat dengan kepatuhan berobat penderita HIV
4. Ada hubungan antara pendampingan dengan kepatuhan berobat penderita HIV












BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian
Dalam penelitian ini Metode penelitian yang di gunakan adalah metode “deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional” dimana penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
Pada penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat pengetahuan penderita, dukungan keluarga, Pendampingan dan reaksi simpang obat dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
B. Tempat dan waktu penelitian
Lokasi penelitian di sini adalah tempat dimana penelitian itu dilaksanakan. Yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar dan berlangsung selama 1 bulan yaitu 15 oktober s/d 15 November 2008
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita HIV yang terdaftar di Klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar yang berjumlah 53 orang yang sementara menjalani pengobatan


2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Oleh karena jumlah populasi yang diteliti pada penelitian ini sedikit, maka peneliti menjadikan semua populasi yang sesuai kriteria inklusi menjadi sampel penelitian (Total sampling), dengan kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi :
1) Penderita yang bersedia menjadi responden.
2) Penderita yang dewasa (>18 tahun).
3) Penderita yang terdaftar pada klinik VCT Puskesmas Ujung Pandang Baru.
4) Penderita yang berobat > 3 bulan
b. Kriteria Ekslusi:
1) Penderita yang tidak bersedia menjadi responden.
2) Penderita HIV yang tidak menggunakan terapi ARV

3. Besar sampel
Dalam pemilihan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan Total sampling atau pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Pasien yang terdaftar di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar berjumlah 53 orang, yang sesuai dengan kriteria inklusi hanya 34 orang.

D. Alur penelitian













Gambar 4.1 : Kerangka Kerja Penelitian.
E. Variabel penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dll). Semua variabel yang diteliti harus didentifikasi, mana yang termasuk variabel bebas (independent), variabel tergantung (dependent), variabel pengontrol dan variabel perancu.



2. Defenisi Operasional Kriteria Objektif
a. Kepatuhan berobat penderita HIV adalah penderita HIV yang memeriksakan diri dan menelan obat sesuai jadwal dan aturan yang berlaku secara rutin.
Kriteria objektif
Patuh : bila penderita rutin minum obat
Tidak patuh : apabila penderita minum obat tidak rutin
b. Pengetahuan adalah kemampuan penderita untuk memahami dan mengerti tentang penyakit HIV dan terapi ARV.
Kriteria Objektif :
Baik : Jika mampu memberikan jawaban benar ≥ 24
Kurang : Jika mampu memberikan jawaban benar < 24
c. Dukungan keluarga adalah peran serta keluarga membantu dan mendorong penderita HIV untuk patuh minum obat.
Kriteria objektif :
Baik : apabila klien menjawab YA ≥ 15
Kurang : apabila klien menjawab TIDAK < 15
d. Reaksi simpang obat adalah reaksi yang terjadi dalam masa pengobatan
kriteria objektif
Positif : apabila klien menjawab YA ≥ 7.5
Negatif : apabila klien menjawab TIDAK < 7.5
e. Pendamping adalah seseorang baik dari keluarga, LSM, teman atau petugas kesehatan yang bertugas mengawasi pasien HIV dalam menjalankan pengobatan
Kriteria objektif :
Ada : apabila klien menjawab ADA
Tidak ada : apabila klien menjawab TIDAK ADA
F. Rencana pengolahan dan analisa data
1. Instrumen pengumpulan data
Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Peneliti mengumpulkan data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuissioner dan sebagai subjek penelitian adalah penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi. Kuisioner yang disebarkan adalah kuisioner yang dibuat oleh peneliti sendiri, yang berisi data demografi yang terdiri dari umur, dan status perkawinan. Kemudian kuissioner tersebut juga berisikan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada variabel independent. Pertanyaan pada kuissioner ini merupakan pertanyaan dalam bentuk tertutup (closed ended questions) dimana telah disediakan jawaban alternatif, tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita dengan 15 pertanyaan dengan penilaian dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1, pendampingan yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1 dan dukungan keluarga yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1. Dan reaksi simpang obat tediri dari 5 pertanyaan dengan penilaian dengan menggunakan skala Guttman dimana jawaban”YA”di beri nilai 2 dan jawaban “TIDAK”di beri nilai 1.
2. Pengolahan data
Setelah data terkumpul, dilanjutkan dengan pengolahan data secara manual. Sebelum data di analisa terlebih dahulu diadakan :
a. Editing
Setelah data terkumpul peneliti akan memeriksa kelengkapan data menurut karakteristiknya masing-masing, memeriksa kesinambungan tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita,dan dukungan keluarga.
b. Koding
Data yang telah dikumpulkan diberi kode menurut jawaban responden, baik data tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita, dan dukungan keluarga.
c. Tabulasi
Untuk memudahkan analisa data, maka data dikelompokkan ke dalam tabel kerja, kemudian data dianalisa secara statistik deskriptif melalui perhitungan persentasi dan hasil perhitungan jumlah.
3. Analisa data
a. Analisa Univariat
Untuk mengetahui dan memperlihatkan distribusi frekuensi serta presentase dari tiap variabel yang diteliti.


b. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui hubungan tiap variabel independent dan variabel dependent yang diuji dengan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan α = < 0,05. Uji statistik dengan menggunakan komputer program SPSS versi 12,0.
G. Etika penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Kepala puskesmas Ujung Pandang baru Kota Makassar untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kuissioner diberikan kepada subjek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed consent.
Sebelum melakukan penelitian maka akan diedarkan lembar persetujuan untuk menjadi responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan tujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya, jika subyek bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien
2. Anonimity (tanpa nama).
Menjelaskan bentuk alat ukur dengan tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data.


3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpul disimpan dalam CD dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan pembimbing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar