Rabu, 24 Agustus 2011

Atresia Bilier



Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Gangguan ini meski jarang terjadi adalah kejadian yang biasa dalam dunia medis. Namun dalam waktu belakangan ini penyakit ini seakan menjadi primadona ketika Bilqis, seorang anak penderita atresia bilier diungkap secara berlebihan di media masa khususnya televisi. Namun “blow up” berita ini sangat positif bagi isu kesehatan anak khususnya penderita gangguan tersebut, daripada harus mengungkapkan secara berlebihan isu politik murahan yang malah mengadu domba masyarakat.

Tragisnya, sebagian besar bayi penderita atresia bilier akhirnya tidak tertolong lantaran tidak punya biaya untuk cangkok hati. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).

Ketika cangkok hati belum banyak bisa dilakukan di Indonesia. Sementara cangkok hati di luar negeri membutuhkan biaya miliaran rupiah. Jadi penanganan optimal bagi banyak penderita adalah masih impian.

Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi empedu.
Sumbata di saluran tertentu di sitem fungsi hati bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati. Mekanisme Terjadinya Gangguan Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.

Antara hati dan usus halus terdapat saluran yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya empedu yang diproduksi hati menuju usus. Jika saluran ini buntu, misalnya karena kelainan bawaan sejak lahir, disebut sebagai atresia bilier.

Empedu adalah cairan yang mengandung kolesterol, garam empedu, dan sampah metabolisme seperti bilirubin. Garam empedu berfungsi untuk memecah lemak yang kita konsumsi. Empedu akan dilepaskan dari jaringan hati dan untuk sementara mengalir dan ditampung oleh kandung empedu. Baru pada saat makan, cairan empedu dipompa masuk ke dalam usus halus.
Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi sumbatan itu adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier.

Jika saluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan timbul warna kuning di kulit dan mata (ikterus/jaundice) akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah.

Gejala

Gejala biasanya dapat dideteksi dalam waktu 2 minggu setelah lahir, biasanya gejala utamanya adalah kulit kuning yang berkepanjangan. Pada keadaan normal bayi baru lahir timbul kuning, pada keadaan atreasia bilier kuning yang terjadi berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
Gejala lain yang menyertai berupa air kemih bayi berwarna gelap, tinja berwarna pucat atau berwarna putih atau penambahan berat badan berlangsung lambat hati membesar.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gangguan pertumbuhan, kulit gatal-gatal, mudah terjadi rewel dan tekanan darah tinggi pada vena porta atau pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan adalah adanya tanda ikterus atau kuning pada kulit, pada mata dan di bawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar juga kadang disertai limpa membesar.

Langkah awal adalah menentukan gejala kuning yang ada harus dibedakan apakah kuning karena unconjugated ilirubin dan conjugated bilirubin. Ditentukan dengan pemeriksaan bilirubin, bila terdapat peningkatan bilirubin direk harus dicurigai conjugated bilirubinemia atau tertdapat sumbatan di sistem saluran hati dan empedu termasuk diantaranya atresia bilier.

Pemeriksaan yang biasa dilakukan pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan darah dilakukan pemeriksaan fungsi hati khususnya terdapat peningkatan kadar bilirubin direk. Disamping itu dilakukan pemeriksaan albumin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, GGT. Dan faktor pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah USG sistem hati dan empedu, Rontgen perut, Scintigrafi, Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif dengan memasukkan cairan tertentu ke jaringan empedu untuk mengetahui kondisi saluran empedu. Pemeriksaan yang juga penting adalah Biopsi hati, untuk melihat struktu organ hati apakah terdapat sirosis hati atau kompilkasi lainnya. Laparotomi biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan.

Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (operasi Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

Mengganggu Organ Tubuh

Bila atresia biler timbul berkepanjangan sangat beresiko terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

Pada Atresia Bilier berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
Gangguan pada metabolisme logam, terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan pembengkakan, vasokonstriksi, dan progresifitas sumbatan. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. Mekanisme kerusakan hati sekunder disebabkan karena asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na, K-ATPase, Mg-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.

Dalam proses imunologis, pada atresia bilier didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.’

dr Kasai

Pengobatan
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

Pasien hanya bisa menjalani prosedur kasai atau penyambungan usus ke hati. Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Selain itu, bila orangtua bayi berasal dari keluarga tidak mampu maka memperumit permaslahan karena tak bisa menyediakan uang yang cukup untuk biaya operasi dan cangkok hati. Penderita penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Pencangkokan (Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang donor kepada orang lain atau resipien. Atau transplantasi dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya misalnya pencangkokan hati, dengan tujuan mengembalikan fungsi hati yang telah hilang. Transplantasi bisa memberikan keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Transfusi darah merupakan jenis transplantasi yang paling sering dilakukan.

Angka keberhasilan transplantasi hati lebih rendah daripada transplantasi ginjal, tetapi 70-80% resipien bertahan hidup minimal selama 1 tahun. Mereka yang bertahan hidup kebanyakan adalah resipien yang hatinya telah mengalami kerusakan akibat sirosis bilier primer, hepatitis atau pemakaian obat yang merupakan racun bagi hati. Tansplantasi hati sebagai pengobatan untuk kanker hati jarang berhasil. Kanker biasanya kembali tumbuh pada hati yang dicangkokkan atau pada organ lainnya dan kurang dari 20% resipien yang bertahan hidup selama 1 tahun. Yang mengejutkan adalah bahwa reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi penolakan pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung). Tetapi setelah pembedahan harus diberikan obat immunosupresan. Jika resipien mengalami pembesaran hati, mual, nyeri, demam, sakit kuning atau terdapat kelainan fungsi hati yang dapat diketahui dari hasil pemeriskaan darah, maka bisa dilakukan biposi jarum. Hasil biopsi akan membantu menentukan apakah hati yang dicangkokkan telah ditolak dan apakah dosis obat immunosupresan harus ditingkatkan.

Transplantasi organ tubuh biasanya melibatkan pencarian donor yang sesuai, kemungkinan timbulnya resiko akibat pembedahan, pemakaian obat-obat immunosupresan yang poten, kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh resipien dan kemungkinan terjadinya komplikasi atau kematian. Untuk orang-orang yang organ vitalnya misalnya jantung, paru-paru, hati, ginjal atau sumsum tulang) sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya dan fungsinya tidak dapat kembali normal, maka transplantasi organ bisa merupakan satu-satunya peluang untuk bertahan hidup.

Jaringan atau organ yang didonorkan bisa berasal dari orang lain yang masih hidup maupun yang belum lama ini sudah meninggal. Yang lebih disukai adalah jaringan yang berasal dari orang yang masih hidup karena angka keberhasilannya tinggi. Tetapi jantung, hati, paru-paru dan komponen mata (kornea dan lensa) hanya bisa didapatkan dari seseorang yang baru saja meninggal dan biasanya akibat kecelakaan bukan karena sakit. Bagian dari jaringan hati juga telah ditransplantasikan dari beberapa donor yang masih hidup. Pencangkokan organ dari donor hidup dilakukan dalam waktu beberapa menit setelah organ diangkat. Beberapa organ hanya bertahan selama beberapa jam diluar tubuh; sedangkan organ lainnya dapat disimpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari.

Pencocokan Jaringan
Pencangkokan jaringan dan organ merupakan suatu proses yang rumit. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan akan menyerang dan menghancurkan jaringan asing (keadaan ini dikenal sebagai penolakan cangkokan). Untuk mengurangi beratnya penolakan tersebut, maka sebaiknya jaringan donor dan jaringan resipien harus memiliki kesesuaian yang semaksimal mungkin.

Untuk mencapai tingkai kesesuaian yang semaksimal mungkin, bilakukan penentuan jenis jaringan donor dan resipien. Antigen adalah zat yang dapat merangsang terjadinya suatu respon kekebalan, yang ditemukan pada permukaan setiap sel di tubuh manusia. Jika seseorang menerima jaringan dari donor, maka antien pada jaringan yang dicangkokkan tersebut akan memberi peringatan kepada tubuh resipien bahwa jaringan tersebut merupakan benda asing.
3 antigen spesifik pada permukaan sel darah merah adalah A, B dan Rh, yang menentukan apakah akan terjadi penolakan atau penerimaan pada suatu transfusi darah. Karena itu darah digolongkan berdasarkan ketiga jenis antigen tersebut.
Jaringan lainnya memiliki berbagai antigen, sehingg penyesuaian menjadi lebih mungkin terjadi. Sekelompok antigen yang disebut human leukocyte antigen (HLA) merupakan antigen yang paling penting pada pencangkokan jaringan lain selain darah. Semakin sesuai antigen HLAnya, maka kemungkinan besar pencangkokan akan berhasil.

Biasanya sebelum suatu organ dicangkokkan, jaringan dari donor dan resipien diperiksa jenis HLAnya. Pada kembar identik, antigen HLAnya benar-benar sama. Pada orang tua dan sebagian besar saudara kandung, beberapa memiliki antigen yang sama; 1 diantara 4 pasang saudara kandung memiliki antigen yang sama.

Penekanan Sistem Kekebalan

Meskipun jenis HLA agak mirip, tetapi jika sistem kekebalan resipien tidak dikendalikan, maka organ yang dicangkokkan biasanya ditolak.
Penolakan biasanya terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian.
Penolakan bisa bersifat ringan dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan maupun organ yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil, mual, lelah dan perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba.

Penemuan obat-obatan yang dapat menekan sistem kekebalan telah meningkatkan angka keberhasilan pencangkokkan.
Tetapi obat tersebut juga memiliki resiko. Pada saat obat menekan reaksi sistem kekebalan terhadap organ yang dicangkokkan, obat juga menghalangi perlawanan infeksi dan penghancuran benda asing lainnya oleh sistem kekebaln. Penekanan sistem kekebalan yang intensif biasanya hanya perlu dilakukan pada minggu-minggu pertama setelah pencangkokkan atau jika terlihat tanda-tanda penolakan. Berbagai jenis obat bisa bertindak sebagai immunosupresan. Yang sering digunakan adalah kortikosteroid (misalnya prednison); pada awalnya diberikan melalui infus kemudian dalam bentuk obat yang diminum. Obat lainnya adalah: Azatioprin, Takrolimus , Mikofenolat mofetil, Siklosporin , Siklofosfamid (terutama digunakan pada pencangkokkan sumsum tulang) , Globulin anti-limfosit dan globulin anti-timosit dan Antibodi monoklonal.

Deteksi dini dari kolestasis neonatal merupakan tantangan bagi dokter dan dokter spesialis anak. Kunci utama adalah pemahaman dan kecermatan pada bayi yang mengalami ikterus atau kuning pada usia diatas 2 minggu. Dengan ditemukannya peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi maka proses diagnosa untuk mencari penyebab harus segera dilakukan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam pengobatan maupun pembedahan. Kegagalan dalam deteksi dini penyebab sumbatan di sistem saluran empedu menyebabkan terlambatnya tindakan sehingga mempengaruhi prognosis.

Semoga atensi media dan upaya mengangkat permasalahan Bilqis harus terus dilanjutkan. Karena, ternyata masih banyak Bilqis-bilqis lain yang lebih berat masalah kesehatan yang dihadapi dan juga lebih membutuhkan bantuan dan kepedulian masyarakat karena masalah ekonomi yang dihadapinya.

Supported by

Koran Indonesia Sehat Yudhasmara Foundation

* Clinic For Children http://childrenclinic.wordpress.com/
* Children Allergy Clinic http://childrenallergyclinic.wordpress.com/
* Picky eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan Pada Anak) http://mypickyeaters.wordpress.com/


Copyright © 2010, Koran Indonesia Sehat Information Education Network. All rights

Minggu, 14 Agustus 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HNP (HERNIA NUKLEUS PULPOSUS)

I. Landasan teori
A. Pengertian
HNP adalah Suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 1996)
HNP adalah keadaan dimana nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudia menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosis yang robek.
B. Etiologi
HNP terjadi karena proses degenratif diskus intervetebralis
C. Insiden
Angka kejadi dan kesakitan banyak terjadi pada usia pertengahan. Pada umumnya HNP didahului oelh aktiivtas yang berlebihan, misalnya mengangkat beban berat (terutama mendadak) mendorong barang berat. Laki—laki lebih banyak dari pada wanita
D. gejala
Gejala utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan .
HNP terbagi atas :
1. HNP sentral
HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine
2. HNP lateral
Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah abtra pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki.Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus (straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif). Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .
E. patofisiologi
Pada umumnya HNP didahului oeleh aktiivta syang berat dengan keluahan utamanya adalah nyeri di punggung bawah disertai nyeri otot sekitar lesi dan nyeri tekan . Hal ini desebabkan oleh spasme otot-otot tersebut dan spasme menyebabkan mengurangnya lordosis lumbal dan terjadi skoliosis.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring
Penderita hrus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan sikap yang baik adalah sikap dalam posisi setengah duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul dan lutut. tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas/per dengan demikina tempat tidur harus dari papan yang larus dan diutu[ dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri punggung bawah mekanik akut. Lama tirah baring tergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan penderita. Pada HNP memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah berbaring dianggp cukup maka dilakukan latihan / dipasang korset untuk mencegah terjadinya kontraktur dan mengembalikan lagi fungsi-fungsi otot.

b. Medikamentosa
1. Symtomatik
Analgetik (salisilat, parasetamol), kortikosteroid (prednison, prednisolon), anti-inflamasi non-steroid (AINS) seperti piroksikan, antidepresan trisiklik ( amitriptilin), obat penenang minor (diasepam, klordiasepoksid).
2. Kausal
Kolagenese
c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermy (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang lebih dalam) untuk relaksasi otot dan mengurnagi lordosis.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, kambuh berulang atau terjadi defisit neurologik
3. Rehabilitasi
a. Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula
b. Agar tidak menggantungkan diri pada orang lain dalam melakkan kegiatan sehari-hari (the activity of daily living)
c. Klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi saluran kencing dan sebagainya).

II. konsep keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
HNP terjadi pada umur pertengahan, kebanyakan pada jenis kelamin pria dan pekerjaan atau aktivitas berat (mengangkat baran berat atau mendorong benda berat)
2. Keluahan Utama
Nyeri pada punggung bawah
P, trauma (mengangkat atau mendorong benda berat)
Q, sifat nyeri seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat, mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-menerus. Penyebaran nyeri apakah bersifat nyeri radikular atau nyeri acuan (referred fain). Nyeri tadi bersifat menetap, atau hilang timbul, makin lama makin nyeri .
R, letak atau lokasi nyeri menunjukkan nyeri dengan setepat-tepatnya sehingga letak nyeri dapat diketahui dengan cermat.
S, Pengaruh posisi tubuh atau atau anggota tubuh berkaitan dengan aktivitas tubuh, posisi yang bagaimana yang dapat meredakan rasa nyeri dan memperberat nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan rasa nyeri seperti berjalan, turun tangga, menyapu, gerakan yang mendesak. Obat-oabata yang ssedang diminum seperti analgetik, berapa lama diminumkan.
T Sifanya akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap, hilng timbul, makin lama makin nyeri.


3. Riwayat Keperawatan
a. Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma multipleks), metabolik (osteoporosis)
b. Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri punggung bawah

4. Status mental
Pada umumny aklien menolak bila langsung menanyakan tentang banyak pikiran/pikiran sedang (ruwet). Lebih bijakasana bila kita menanyakan kemungkinan adanya ketidakseimbangan mental secara tidak langsung (faktor-faktor stres)

5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum
 pemeriksaan tanda-tanda vital, dilengkapi pemeriksaan jantung, paru-paru, perut.
 Inspeksi
- inspeksi punggung, pantat dan tungkai dalam berbagai posisi dan gerakan untuk evalusi neyurogenik
- Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal,adanya angulus, pelvis ya ng miring/asimitris, muskulatur paravertebral atau pantat yang asimetris, postur tungkai yang abnormal.
- Hambatan pada pegerakan punggung , pelvis dan tungkai selama begerak.
- Klien dapat menegenakan pakaian secara wajar/tidak
- Kemungkinan adanya atropi, faskulasi, pembengkakan, perubahan warna kulit.
 palpasi dan perkusi
- paplasi dan perkusi harus dikerjakan dengan hati-hati atau halus sehingga tidak membingungkan klien
- Paplasi pada daerah yang ringan rasa nyerinya ke arah yang paling terasanyeri.
- Ketika meraba kolumnavertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-posterior
- Palpasi dna perkusi perut, distensi pewrut, kandung kencing penuh dll.
 Neuorologik
 Pemeriksaan motorik
- Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas, tungkai bawah, kaki, ibu jari dan jari lainnya dengan menyuruh klien unutk melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan.
- atropi otot pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan kanan-kiri.
- fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot tertentu.
 Pemeriksan sensorik
Pemeriksaan rasa raba, rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar (vibrasi) untuk menentukan dermatom mana yang terganggu sehingga dapat ditentuakn pula radiks mana yang terganggu.
 pemeriksaan refleks
- refleks lutut /patela/hammer (klien bebraring.duduk dengan tungkai menjuntai), pada HNP lateral di L4-5 refleks negatif.
- Rfleks tumit.achiles (klien dalam posisi berbaring , luutu posisi fleksi, tumit diletakkan diatas tungkai yang satunya dan ujung kaki ditahan dalam posisi dorsofleksi ringan, kemudian tendon achiles dipukul. Pada aHNP lateral 4-5 refleks ini negatif.
 Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan aktif atau pasif untuk memperkirakan derajat nyeri, functio laesa, atau untuk mememriksa ada/tidaknya penyebaran nyeri.

b. Pemeriksaan penunjang
 foto rontgen, Foto rontgen dari depan, samping, dan serong) untuk identifikasi ruang antar vertebra menyempit. Mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalu tindakan lumbal pungsi dan pemotrata dengan sinar tembus. Apabila diketahiu adanya penyumbatan.hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.
 Elektroneuromiografi (ENMG)
Untuk menegetahui radiks mana yang terkena / melihat adanya polineuropati.
 Sken tomografi
Melihat gambaran vertebra dan jaringan disekitarnya termasuk diskusi intervertebralis.
6. Penatalaksanaan
(lihat pada landsan teori)

7. Dignosa keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah pasien yang nyata ataupun potensial dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah pasien dapat ditanggulangi atau dikurangi. (Lismidar, 1990)
1) Nyeri berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervetebralis
2) Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi
3) Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia
4) Perubahan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
5) Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
6) Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama




DAFTAR PUSTAKA



Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC, Jakarta.

Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M.,1996, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.

Ignatavicius D.D., Bayne M.V., 1991, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Juwono, T., 1996, Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek, EGC, Jakarta.

Mardjono M., Sidharta P., 1981, Neurologi Klinis Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta.

Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

INFARK MIOKARD AKUT



A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Miokard infark adalah kematian otot jantung yang diakibatkan oleh kekurangan aliran darah atau oksigen. Penyebabnya adalah penyempitan atau sumbatan pembuluh darah koroner.
2. Etiologi
Penyebabnya dapat karena penyempitan kritis arteri koroner akibat arterosklerosis atau oklusi arteri komplet akibat embolus atau trombus. Penurunan aliran darah koroner dapat juga disebabkan oleh syok dan hemoragi. Pada setiap kasus terdapat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus tidak mereda, biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak dapat tertahankan lagi.
c. Nyeri ini sangat sakit, seperti ditusuk-tusuk yang dapat menjalar kebahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual serta muntah.
g. Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor (menumpulkan pengalaman nyeri).

4. Jenis-Jenis Miokard Infark
a. Miokard Infark Subendokardial.
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia dan infark. Miokard infark subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia. Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat takikardia atau hipertrofi ventrikel. Walaupun pada mulanya gambaran klinis dapat relatif ringan, kecenderungan iskemia dan infark lebih jauh merupakan ancaman besar setelah pasien dipulangkan dari Rumah Sakit.
b. Miokard Infark Transmural.
Pada lebih dari 90 % pasien miokard infark transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis seing terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerotik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan. Termasuk disini misalnya perdarahan dalam plaque aterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang umumnya terjadi di tempat aterosklerotik yang emboli koroner. Miokard infark dapat terjadi walau pembuluh koroner normal, tetapi hal ini amat jarang.
5. Patofisiologi
ISKEMIA
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium lokal. Pada iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium sehingga akan mengubah metabolisme yang bersifat aerob menjadi metabolisme anaerob. Pembentukan fosfat berenergi tinggi akan menurun. Hasil akhir metabolisme anaerob yaitu asam laktat akan tertimbun sehingga pH sel menurun.
Efek hipoksia, berkurangnya energi serta asidosis dengan cepat menganggu fungsi ventrikel kiri, kekuatan kontraksi berkurang, serabut-serabutnya memendek, daya dan kecepatannya berkurang. Gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali kontraksi. Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakkan jantung akan mengubah hemodinamika. Perunahan ini bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung sehingga akan memperbesar volume ventrikel akibatnya tekanan jatung kiri akan meningkat. Juga tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan dalam kapiler paru-paru akan meningkat.
Manifestasi hemodinamika pada iskemia yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan darah yang ringan dan denyut jantung sebelum timbulnya nyeri yang merupakan respon kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas merupakan respon vagus.
Iskemia miokardium secara khas disertai perubahan kardiogram akibat perubahan elektrofisiologi seluler yaitu gelombang Tterbalik dan depresi segmen ST. Serang iskemia biasanya mereda dalam beberapa menit bila ketidakseimbangan atara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik, dan elektrokardiografik bersifat reversibel.
INFARK
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau nekrosis. Bagian miokardium yang mengalami infark akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh daerah iskemia.
30 menit setelah terjadi sumbatan, perdarahan metabolik terjadi sebagai akibat dari iskemia. Glikosis anaerob berperan dalam menyediakan energi untuk menghasilkan laktase. Perubahan-perubahan pada elektro potensial membran, setelah 20 menit terjadi perubahan-perubahan seluler meliputi ruptur lisotum dan defek struktural sarkolema yang menjadi ireversibel pada sentral zone infark. Zone iskemia yang ada di sekitar area infark mungkin tersusun oleh sel-sel normal atau sel-sel abnormal. Area iskemia ini dapat membalik apabila sirkulasi terpenuhi secara adekuat. Tujuan terapi adalah memperbaiki area iskemia tersebut dan mencegah perluasan sentral zone nekrosis.
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penyebab penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau trombus. Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan. Pada setiap kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jantung.
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri, infark transmural mengenai seluruh tebal dinding miokard, sedangkan infark subendokardial nekrosisnya hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel. Letak infark berkaitan dengan penyakit pada daerah tertentu dalam sirkulasi koroner, misalnya infark anterior dinding anterior disebabkan karena lesi pada ramus desendens anterior arteria koronaria sinistra, infark dinding inferior biasanya disebsbkan oleh lesi pada arteria coronaria kanan.
Infark miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis., kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga mengalami gangguan kontraksi.
Miokard infark mengganggu fungsi ventrikuler dan merupakan predisposisi terhadap perubahan hemodinamik yang meliputi : Kemunduran kontraksi, penurunan stroke volume, gerakan dinding abnormal, penurunan fraksi ejeksi, peningkatan ventrikuler kiri pada akhir sistole dan volume akhir diastole, dan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikuler. Mekanisme kompensasi output cardial dan perfusi yang mungkin meliputi stimulasi refleks simpatetik untuk meningkatkan kecepatan jantung, vasokonstriksi, hipertrofi ventrikuler, serta retensi air tuntutan dengan miokardial. Tapi direncanakan untuk mencukupi kebutuhan dengan dan menurunkan tuntutan terhadap oksigen.
Gangguan fungsional ini tergantung dari berbagai faktor; seperti:
• Ukuran infark: 40% berkaitan dengan syok kardiogenik.
• Lokasi infark: dinding anterior lebih besar mengurangi fungsi mekanik dibandingkan dinding inferior.
• Fungsi miokardium yang terlibat: infark tua akan membahayakan fungsi miokardium sisanya.
• Sirkulasi kolateral: dapat berkembang sebagai respon iskemia yang kronik dan hipoperfusi regional guna memperbaiki aliran darah yang menuju ke miokardium yang terancam.
• Mekanisme kompensasi dari kardiovaskuler: bekerja untuk mempertahankan curah jantung dan perfusi perifer.
Miokard infark paling sering terjadi pada ventrikel kiri dan dapat dinyatakan sesuai area miokardium yang terkena. Apabila mengenai tiga sekat dinding miokardium maka disebut infark transmural dan apabila hanya sebatas bagian dalam miokardium disebut infark sebendokardial. Miokard infark juga dapat dinyatakan sesuai dengan lokasinya pada jantung, yang secara umum dapat terjadi pada sisi posterior, anterior, septal anterior, anterolateral, posteroinferior dan apical. Lokasi dan luasan lesi menentukan sejauhmana kemunduran fungsi terjadi, komplikasi dan penyembuhan.
Dengan menurunnya fungsi ventrikel, diperlukan tekanan pengisian diastolik dan volume ventrikel akan meregangkan serabut miokardium sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum starling). Tekanan pengisian sirkulasi dapat ditingkatkan lewat retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga infark miokardium biasanya disertai pembesaran ventrikel kiri. Sementara, akibat dilatasi kompensasi kordis jantung dapat terjadi hipertrofi kompensasi jantung sebagai usaha untuk meningkatkan daya kontraksi dan pengosongan ventrikel.
Proses penyembuhan miokard infark memerlukan waktu beberapa minggu. Dalam waktu 24 jam terjadi udema seluler dan infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung dibebaskan menuju sel. Degradasi jaringan dan nekrosis terjadi pada hari kedua atau ketiga. Pembentukan jaringan parut dimulai pada minggu ketiga sebagai jaringan konektif fibrous yang menggantikan jaringan nekrotik, jaringan parut menetap terbentuk dalam 6 minggu sampai 3 bulan.
6. Faktor Pencetus
Faktor pencetus terjadinya Miokard infark yaitu :
a. Stress.
b. Cuaca yang dingin atau panas.
c. Pekerjaan fisik.
d. Merokok.
e. Minum kopi.
1. Komplikasi Klinik
• gagal jantung kongesif
• Syok kardiogenik
• Disfungsi otot papilaris
• Defek septum ventrikel
• Ruptura jantung
• Aneurisma ventrikel
• Tromboembolisme
• Perikarditis
• Aritmia



2. Hal-Hal Yang Bisa Menyebabkan Infark Miokardium
a. Aterosklerosis
Kolesterol dalam jumlah banyak berangsur menumpuk di bawah lapisan intima arteri. Kemudian daerah ini dimasuki oleh jaringan fibrosa dan sering mengalami kalsifikasi. Selanjutnya akan timbul “plak aterosklerotik” dan akan menonjol ke dalam pembuluh darah dan menghalangi sebagian atau seluruh aliran darah.
b. Penyumbatan koroner akut
Plak aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekua darah setempat atau trombus dan akan menyumbat arteria. Trombus dimulai pada tempat plak ateroklerotik yang telah tumbuh sedemikian besar sehingga telah memecah lapisan intima, sehingga langsung bersentuhan dengan aliran darah. Karena plak tersebut menimbulkan permukaan yang tidak halus bagi darah, trombosit mulai melekat, fibrin mulai menumpuk dan sel-sel darah terjaring dan menyumbat pembuluh tersebut. Kadang bekuan tersebut terlepas dari tempat melekatnya (pada plak ateroklerotik) dan mengalir ke cabang arteria koronaria yang lebih perifer pada arteri yang sama.
c. Sirkulasi kolateral di dalam jantung
Bila arteria koronaria koronaria perlahan-lahan meyempit dalam periode bertahun-tahun, pembuluh-pembuluh kolateral dapat berkembang pada saat yang sama dengan perkembangan arterosklerotik. Tetapi, pada akhirnya proses sklerotik berkembang di luar batas-batas penyediaan pembuluh kolateral untuk memberikan aliran darah yang diperlukan. Bila ini terjadi, maka hasil kerja otot jantung menjadi sangat terbatas, kadang-kadang emikian terbatas sehingga jantung tidak dapat memompa jumlah aliran darah normal yang diperlukan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG): Adanya gelombang patologik disertai peninggian segmen ST ( ST Elevasi) yang konveks dan diikuti gelombang T yang negatif dan simetrik. Yang terpenting ialah kelainan Q yaitu menjadi lebar (lebih dari 0,04 sec) dan dalam (Q/R lebih dari 1/3).
Tampilan elevasi segmen ST berbeda antara :
- STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction)
- NSTEMI (Non ST Elevation Myocardial Infarction)- di diagnosis ketika enzim jantung mengalami kenaikan.
Sadapan dengan ST elevasi menolong petugas kesehatan untuk melihat daerah mana dari jantung yang mengalami infark. Juga dapat memprediksikan arteri yang rusak.
Dinding yang dipengaruhi Sadapan yang menampilkan ST elevasi Sadapan yang menampilkan depresi segmen ST Arteri yang dicurigai rusak

b. Laboratorium :
Creatin fosfakinase (CPK). Iso enzim CKMB meningkat. Hal ini terjadi karena kerusakan otot, maka enzim intra sel dikeluarkan ke dalam aliran darah. Normal 0-1 mU/ml. Kadar enzim ini sudah naik pada hari pertama (kurang lebih 6 jam sesudah serangan) dan sudah kembali kenilai normal pada hari ke 3.
SGOT (Serum Glutamic Oxalotransaminase Test) Normal kurang dari 12 mU/ml. Kadar enzim ini biasanya baru naik pada 12-48 jam sesudah serangan dan akan kembali kenilai normal pada hari ke 4 sampai 7.
LDH (Lactic De-hydroginase). Normal kurang dari 195 mU/ml. Kadar enzim baru naik biasanya sesudah 48 jam, akan kembali ke nilai normal antara hari ke 7 dan 12.
c. Pemeriksaan lainnya adalah ditemukannya peninggian LED,lekositosis ringan dan kadang-kadang hiperglikemia ringan.
d. Kateterisasi: Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi.
e. Radiologi. Hasil radiologi tidak menunjukkan secara spesifik adanya infark miokardium, hanya menunjukkan adanya pembesaran dari jantung.
4. Pengobatan iskemia dan infark
Pengobatan iskemia miokardium ditujukan kepada perbaikan keseimbangan oksigen (kebutuhan miokardial akan oksigen) dan suplai oksigen.Untuk pemulihan dilakukukan dengan mekanisme:
1. Pengurangan kebutuhan oksigen.
2. Peningkatan suplai oksigen
Ada tiga penentu utama untuk pengurangan kebutuhan oksigen, yang dapat diatasi dengan terapi adalah :
1. Kecepatan denyut nadi
2. Daya kontraksi
3. Beban akhir (tekanan arteria dan ukuran ventrikel )
4. Beban kebutuhan jantung dan kebutuhan akan oksigen dapat dikurangi dengan menurunkan kecepatan denyut jantung, kekuatan kontraksi, tekanan arteria dan ukuran ventrikel.
Nitrogliserin
Terutama untuk dilatasi arteria dan vena perifer dengan memperlancar distribusi aliran darah koroner menuju daerah yang mengalami iskemia meliputi; vasodilatasi pembuluh darah kolateralis. Dilatasi vena akan meningkatkan kapasitas penambahan darah oleh vena diperifer, akibatnya aliran balik vena ke jantung menurun sehingga memperkecil volume dan ukuran ventrikel. Dengan demikian vasodilatasi perifer akan mengurangi beban awal akibatnya kebutuhan oksigen pun akan berkurang.
Propranol (inderal)
Suatu penghambat beta adrenergik, menghambat perkembangan iskemia dengan menghambat secara selektif pengaruh susunan saraf simpatis terhadap jantung. Pengaruh ini disalurkan melalui reseptor beta. Rangsangan beta meningkatkan kecepatan denyut dan daya kotraksi jantung . Proprenol menghambat pengaruh-pengarug ini, dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen.
Digitalis
Digitalis dapat meredakan angina yang menyertai gagal jantung dengan meningkatkan daya kontraksi dan akibatnya akan meningkatnya curah sekuncup. Dengan meningkatnya pengosongan ventrikel, maka ukuran ventrikel berkurang. Meskipun kebutuhan akan oksigen meningkat akibat meningkatnya daya kontraksi, hasil akhir dari pengaruh digitalis terhadap gagal jantung adalah menurunkan kebutuhan miokardium akan oksigen.
Diuretika
Mengurangi volume darah dan aliran balik vena ke jantung, dan dengan demikian mengurangi ukuran dan volume ventrikel.
Obat vasodilator dan antihipertensi dapat mengurangi tekanan dan resistensi arteria terhadap ejeksi ventrikel, akibatnya beban akhir menurun/berkurang.
Sedativ dan antidepresan juga dapat mengurangi angina yang ditimbulkan oleh stres atau depressi.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN DASAR
a. Aktivitas
Gejala:
o Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur
o Pola hidup menetap, jadwal olahraga tidak teratur
Tanda:
o Takikardi, dispnea pada waktu istirahat/aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala:
o Riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, GJK, masalah TD, diabetes mellitus.
Tanda:
o TD: dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk/berdiri.
o Nadi: dapat normal; penuh/tak kuat, lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
o Bunyi jantung: bunyi jantung ekstra S3/S3 mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel
o Murmur: bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papiler.
o Friksi: dicuragai perikarditis
o Irama jantung: dapat teratur atau tidak teratur
o Edema: distensi vena jugular, edema dependen/perifer, edema umum, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
o Warna: pucat atau sianosis/kulit abu-abu, kuku datar, pada membrane mukosa dan bibir.
c. Integritas Ego
Gejala:
o Menyangkal gejala penting/adanya kondisi
o Takut mati, perasaan ajal sudah dekat
o Marah pada penyakit/perawatan yang “tak perlu”
o Kuatir tentang keluarga, kerja, keuangan.
Tanda:
o Menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata
o Gelisah, marah, perilaku menyerang
o Fokus pada diri sendiri/nyeri.
d. Eliminasi:
Tanda:
o Normal atau bunyi usus menurun
e. Makanan/cairan
Gejala:
o Mual, kehilangan nafsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:
o Penurunan turgor kulit; kulit kering/berkringat
o Muntah
o Perubahan berat badan
f. Higiene:
o Gejala/tanda: kesulitan melakukan tugas perawatan
g. Neurosensori
Gejala:
o Pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istirahat)
Tanda:
o Perubahan mental
o Kelemahan
h. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
o Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat tidak berhubungan dengan aktivitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
o Lokasi: tipikal pada dada anterior, substernal, prekordia; dapat menyebar ke tangan, rahang dan wajah.
o Kualitas: ‘chursing’ menyempit, berat, menetap tertekan.
o Intensitas: biasanya 10 pada skala 1 – 10; mungkin pengalaman nyeri yang belum pernah dirasakan.
o Catatan: nyeri mungkin tak ada pasien pasca operasi, dengan diabetes mellitus atau hipertensi atau lansia.
Tanda:
o Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
o Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
o Menarik diri, kehilangan kontak mata
o Respon otomatik: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, warna kulit/kelembaban, pernapasan, kesadaran.
i. Pernapasan
Gejala:
o Dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal.
o Batuk dengan/tanpa produksi sputum.
o Riwayat merokok, penyakit pernapasan kronik.
Tanda:
o Peningkatan frekuensi pernapasan, napas sesak/kuat.
o Pucat atau sianosis.
o Bunyi napas: bersih atau krekels/mengi.
o Sputum: bersih, merah muda kental
j. Interaksi social
Gejala:
o Stress saat ini contoh kerja, keluarga
o Kesulitan koping dengan stressor yang ada, contoh penyakit, perawatan di RS
Tanda:
o Kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi (marah terus-menerus, takut)
o Menarik diri dari keluarga
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
o Riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer
o Penggunaan tembakau.
Pertimbangan
o DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 7,3 hari (2 – 4 hari/ccu)
Rencana pemulangan
o Bantuan pada persiapan makan, belanja, transportasi, perawatan rumah/memelihara tugas, susunan fisik rumah
2. PERIORITAS KEPERAWATAN
a. Menghilangkan nyeri, cemas.
b. Menurunkan kerja miokard
c. Mencegah/mendeteksi dan membantu pengobatan disritmia yang mengancam hidup atau komplikasi.
d. Meningkatkan kesehatan jantung, perawatan diri.
3. TUJUAN PEMULANGAN
a. Tidak ada nyeri dada/terkontrol
b. kecepatan jantung/irama mampu mempertahankan curah jantung adekuat/perfusi jaringan.
c. Meningkatkan tingkat aktivitas untuk perawatan diri dasar.
d. Ansietas berkurang/teratasi
e. Proses penyakit, rencana pengobatan, dan prognosis dipahami.

4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi/yang utama :
a. Nyeri dada yang berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri koroner.
Kriteria :
 Nyeri dada hilang/terkontrol
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
 Klien tampak rileks,mudah bergerak
Intervensi :
1) Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi dan faktor yang mempengaruhinya.
R/: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala pasca terapi.
2) Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi kardiak.
R/: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung.
3) Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
R/: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya,sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli paru, atau perikarditis
4) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
R/: Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
5) Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman
R/: Menurunkan rangsang eksternal
6) Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi.
R/: Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri
7) Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
R/: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel
8) Kolaborasi dengan tim medis pemberian :
a) Antiangina (NTG)
R/: Untuk mengontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia
b) Penyekat β (atenolol)
R/: Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard
c) Preparat analgesik (Morfin Sulfat).
R/: Untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard
d) Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik
R/: Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen yang bersirkulasi).
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung
Kriteria Hasil :
 Klien dapat melakukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur dengan frekuensi jantung/irama jantung dan TD dalam batas normal
 Kulit teraba hangat, merah muda dan kering

Intervensi :
1) Pantau frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, sesudah beraktivitas sesuai indikasi
R/: Untuk menentukan tingkat aktivitas klien yang tidak memberatkan curah jantung
2) Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik, berikan aktivitas senggang yang tidak berat
R/: Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan risiko komplikasi
3) Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi
R/: Dengan mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi dan peningkatan TD
4) Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat akyivitas
R/: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan
5) Observasi gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktivitas
R/: Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea dapat mengindikasikan kebutuhan perubahan program olahraga atau diet.
c. Risiko penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural
Kriteria Hasil :
• TD, curah jantung dalam batas normal
• Haluaran urine adekuat
• Tidak ada disritmia
• Penurunan dispnea, angina
• Peningkatan toleransi terhadap aktivitas

Intervensi :
1) Pantau tanda vital : frekuensi jantung, TD,nadi
R/: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara dini sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena TD dapat meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung dipengaruhi.
2) Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4
R/: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan ventrikel, dan hipertensi pulmonal /sistemik
3) Auskultasi bunyi napas
R/: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard
4) Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan kafein,kopi, coklat, cola
R/: Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi,peningkatan frekuensi jantung
5) Kolaborasi
a) Berikan oksigen sesuai indikasi
R/: Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan disritmia lanjut
b) Pertahankan cairan IV
R/: Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada disritmia/nyeri dada
c) Kaji ulang seri EKG
R/: Memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan infark, fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit, dan efek terapi obat
d) Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
R/: Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya hipoksia,hipokalemia/hiperkalsemia
e) Berikan obat antidisritmia
d. Risiko perubahan perfusi jaringan b.d penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli
Kirteria Hasil :
 Kulit hangat dan kering
 Nadi perifer kuat
 Tanda vital dalam batas normal
 Kesadran compos mentis
 Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
 Tidak edema dan nyeri
Intervensi :
1) Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran secara tiba-tiba
R/: Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung
2) Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan nadi perifer
R/: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung
3) Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema
R/: Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam
4) Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif
R/: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan risiko tromboflebitis
5) Pantau pemasukan dan perubahan haluaran urine
R/: Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ
6) Pantau laboratorium GDA, kreatinin, elektrolit
R/: Indikator dari perfusi atau fungsi organ
7) Beri obat sesuai indikasi
a) Heparin Untuk menurunkan resiko tromboflebitis atau pembentukan trombus mural
b) Cimetidine untuk Menetralkan asam lambung dan iritasi gaster
e. Ansietas yang berhubungan dengan ketakutan akan kematian.
Tujuan : Penghilangan kecemasan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarganya serta mekanisme koping
R/: Data tersebut memberikan informasi mengenai perasaan sehat secara umum dan psikologis sehingga gejala pasca terapi dapat dibandingkan.
2) Kaji kebutuhan bimbingan spiritual.
R: Jika pasien memerlukan dukungan keagamaan, konseling agama akan membantu mengurangi kecemasan dan rasa takut.
3) Biarkan pasien dan keluarganya mengekspresikan kecemasan dan ketakutannya.
R/: Kecemasan yang tidak dapat dihilangkan (respons stress) meningkatkan konsumsi oksigen jantung.
4) Manfaatkan waktu kunjungan yang fleksibel, yang memungkinkan kehadiran keluarga untuk membantu mengurangi kecemasan pasien.
R/: Kehadiran dukungan anggota keluarga dapat mengurangi kecemasan pasien maupun keluarga.
5) Dukung partisipasi aktif dalam program rehabilitasi jantung.
R/: Rehabilitasi jantung yang diresepkan dapat membantu menghilangkan ketakutan akan kematian, dapat meningkatkan perasaan sehat.
6) Ajarkan tehnik pengurangan stress.
R/: Pengurangan stress dapat membantu mengurangi konsumsi oksigen miokardium dan dapat meningkatkan perasaan sehat.
f. Risiko kelebihan volume cairan b/d penurunan perfusi organ (ginjal), peningkatan natrium/retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma.
Kriteria hasil :
• Mempertahankan keseimbangan cairan spt dibuktikan oleh TD dalam batas normal.
• Tidak ada distensi vena perifer/vena dan edema dependen.
• Paru bersih dan berat badan stabil.
Intervensi :
1. Auskultasi bunyi napas untuk adanya krekels.
R/: Dapat mengindikasikan edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.
2. Catat DVJ, adanya edema dependen.
R/: Di curigai adanya gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
3. Ukur masuka/haluaran, cata pengeluaran, sifat kosentrasi.
R/: Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air dan penurunan haluaran urine.
4. Timbang berat badan tiap hari.
R/: Perubahan tiba-tiba pada berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan volume cairan.
5. Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.
R/: Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan pembatasan pada adanya decompensasi jantung.
6. Berikan diet rendah natrium.
R/: Natrium meningkatkan retensi cairan dan harus di batasi.
7. Berikan diuretik spt : furosemid, hidralazin.
R/: Memperbaiki kelebihan volume cairan.


8. Pantau kalium sesuai indikasi.
R/: Hipokalemia dapat membatasi keefektifan terapi dan dapat terjadi dengan penggunaan diuretik penurun kalium.
g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan b/d kurang informasi tentang penyakit jantung, status kesehatana yg akan datang, kebutuhan pperubahan pola hidup, tidak mengenal terapi pasca terapi/kebutuhan perawatan diri.
Kriteria hasil :
• Menyataakan pemahaman penyakit jantung sendiri, rencana pengobatan, tujuan pengobatan, dan efek samping merugikan.
• Menyebutkan gejala yang memerlukan perhatian cepat.
• Mengidentifikasi/merencanakan perubahan pola hidup yang perlu.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetaahuan pasien/orang terdekat dan kemampuan keinginan belajar.
R/: Perlu untuk pembuatana rencana instruksi individu.
2. Beri informasi tentang penyakit yang di derita.
R/: Peneingkatan pengetahauan tenatng penyakit yang di derita.
3. Beri penguatan penjelasan faktor risiko, pembatasan diet/akktivitas, obat, dan gejaala yang memerlukan perhatian medis yang cepat.
R/: Memberikan kesemapatana pada pasien untuk mencakup informasi dan mengasumsi partisipasi dalam program rehabilitasi.
4. Dorong mmengidentifikasi penurunan faktor riisiko indiividu, cth merokok, konsumsi alkohol, kegemukan.
R/: Perilaku ini dapat merugikan langsung pada kardiovaskuler.
5. Peringatkan untuk menghindari aktivitas isometrik, manuver valsava dan aktivitas yang memerlukan tanagan diposisikan diatas kepala.
R/: Aktivitas ini sangat mmeningktakan kerja jantung.
6. Tekankan pentingnys melaporkan terjadinya demam sehubungan dengan nyeri dada menyebar/tidak khas dan nyeri sendi.
R/: Komplikasi pasca IM dari inflamasi perikardial memerlukan evaluasi /intervensi medis lanjut.


























DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E, et all. 2000. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. EGC: Jakarta

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Lynda Jual Carpenito R.N, M.S.N, 1995, Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Sylvia A.Price, Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Kamis, 04 Agustus 2011

PROLAPS UTERI

PENDAHULUAN

Kelainan dalam letak alat-alat genital sudah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi. Catatan-catatan yang ditemukan di Mesir mengenai Ratu Cleopatra, menyatakan prolapsus genitalis merupakan satu ahal yang aib pada wanita dan menganjurkan pengobatannya dengan penyiraman dengan larutan Adstringensia. Dalam hal ilmu kedokteran Hindu kuno menurut Chakraberty, dijumpai keterangan-keterangan mengenai kelainan dalam letak alat genital, dipakai istilah “Mahati” untuk wanita yang lebar dengan sistokel, rektokel dan laserasi perineum.

Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan peranankan terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan saja untuk menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena diagnosis letak yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus.

Prolapsus uteri adalah keadaan yang sangat jarang terjadi. Kebanyakan terjadi pada usia tua dan pada usia muda. Hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut.



DEFINISI

Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya. Atau turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis.

KLASIFIKASI

Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat antara para ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu:

A. Prolapsus uteri tingkat I : serviks uteri turun sampai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks uteri menonjol keluar dari introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : seluruh uterus keluar dari vagina. Prolaps ini juga dinamakan Prosidensia Uteri.

B. Prolapsus uteri tingkat I : serviks masih berada dalam vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks mendekati atau sampai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : serviks keluar dari introitus vagina.

Prosidensia Uteri : uterus seluruhnya keluar dari vagina.

C. Prolapsus uteri tingkat I : serviks mencapai introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat II : uterus keluar dari introitus kurang dari ½ bagian.

Prolapsus uteri tingkat III : uterus keluar dari introitus vagina lebih besar dari ½ bagian.

D. Prolapsus uteri tingkat I : serviks mendekati processus spinosus.

Prolapsus uteri tingkat II : serviks terdapat antara processus spinosus dan introitus vagina.

Prolapsus uteri tingkat III : serviks keluar dari introitus vagina.

G. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D, ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (Prosidensia Uteri).

Klasifikasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Desensus uteri : uterus turun tetapi serviks masih dalam vagina.
Prolapsus uteri tingkat I : uterus turun dengan serviks uteri turun sampai introitus vagina.
Prolapsus uteri tingkat III (Prosidensia Uteri) : uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai inversion uteri.
Prolapsus uteri tingkat II : uterus untuk sebagian keluar sampai vagina.
FREKWENSI

Prolaspsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan wanita dengan pekerjaan yang berat. Djafar Siddik pada penyelidikan selama 2 tahun (1969-1971) memperoleh 63 kasus prolapsus dari 5.372 kasus ginekologi di RS Dr. Pirngadi, Medan. Terbanyak pada grande multipara dalam masa menopause. Dari 63 kasus tersebut, 69 % berumur 40 tahun. Walaupun jarang sekali prolapsus uteri juga ditemukan pada seorang nullipara.

Kehamilan pada prolapsus total sangat jarang terjadi, mengingat proses koitusnya sukar berhasil, namun kehamilan pada uterus yang mengalami prolapsus parsial lebih sering ditemukan.

ETIOLOGI

Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau regangan) atau karena usia lanjut.
Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah.
Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites, tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis).
Partus yang berulang dan terjadi terlampau sering.
Partus dengan penyulit.
Tarikan pada janin sedang pembukaan belum lengkap.
Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan placenta.
FISIOLOGIS

Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu :

Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :
ligamentum rotundum (lig teres uteri) : ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.
Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah os sacrum kiri dan kanan.
Ligamentum cardinale (Mackenrodt) : ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v uterina.
Ligamentum latum : ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii) : ligamentum yang menahan tuba fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.


Jaringan –jaringan yang menunjang vagina
Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari urethra menuju ke dinding depan vagina.
à Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina.

Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum)
à Kelemahan fasia ini menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina.

Kantong Douglas
Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum di sebelah kanan dan kiri , vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini, oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan hernia (enterokel).

Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani
Dasar panggul terdiri dari :

diafragma pelvis
diafragma urogenital
otot penutup genitalia eksterna
v Diafragma pelvis :

- otot levator ani : iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis

- koksigeus

- fasia endopelvik

Fungsi levator ani :

mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis, sehingga organ-organ pelvis diatasnya tidak dapat turun (prolaps).
mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligamen-ligamen tidak perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvis diatasnya.
Sebagai sandaran dari uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator rusak atau mengalami defek maka ligamen seperti ligamen cardinale, sacrouterina dan fasia akan mempunyai beban kerja yang berat untuk mempertahankan organ-organ yang digantungnya, sebaliknya selama otot-otot levator ani normal, ligamen-ligamen dan fasia tersebut otomatis dalam istirahat atau tidak berfungsi banyak.
M. Pubovaginalis berfungsi sebagai :
- penggantung vagina. Karena vagina ikut menyangga uterus serta adnexa, vesica urinaria serta urethra dan rectum, maka otot ini merupakan alat penyangga utama organ-organ dalam panggul wanita.

- Robekan atau peregangan yang berlebihan merupakan predisposisi terjadinya prolapsus cystocele dan rectocele

- Sebagai sphincter vaginae dan apabila otot tersebut mengalami spasme maka keadaan ini disebut vaginismus

M. puborectalis berfungsi sebagai :
- penggantung rectum

- mengontrol penurunan feces

- memainkan peranan kecil dalam menahan struktur panggul.

M. iliococcygeus berfungsi sebagai :
- Sebagai lapisan musculofascial.

v Diafragma urogenital

Fungsi diafragma urogenital:

memberi bantuan pada levator ani untuk mempertahankan organ-organ pelvis
PATOLOGI

Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat, dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan, khususnya persalinan yang susah terdapat kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang.

Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana yang dipakai oleh wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang dinamakan ulkus dekubitus.

Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya trauma obstetric, ia terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan menyebabkan menonjolnya dinding depan vagina ke belakang, hal ini dinamakan sistokel.

Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar kar\ena persalinan berikutnya, terutama jika persalinan itu berlangsung kurang lancar, atau harus diselesaikan dengan menggunakan peralatan. Urethra dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan urethrokel. Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya dibelakang urethra ada lubang yang menuju ke kantong antara urethra dan vagina.

Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel.

Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun , oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid.

GEJALA-GEJALA KLINIK

Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang-kadang penderita yang satu dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun. Sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.

Prolaps dapat terjadi secara akut alam hal ini dapat timbul gejala nyeri yang sangat, muntah dan kolaps. Keluhan-keluhan yang hampir dijumpai adalah:

Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia eksterna.
Rasa sakit dalam panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring keluhan hilang atau berkurang.
Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri terhadap celana dapat menimbulkan lecet sampai luka dekubitus pada poertio uteri.
Leukorhea karena kongesti pembuluh darah vena daerah serviks dan area infeksi serta luka pada portio uteri.
Coitus terganggu.
Infertilitas karena servicitis.
Incontinentia urine jika sudah terjadi cystokele oleh karena dinding belakang urethra tertarik sehingga faal spingter kurang sempurna.
Kesukaran defekasi pada rektokel. Obstipasi karena fese terkumpul dalam rongga rektokel. Baru dapat dilaksanakan defekasi setelah diadakan tekanan pada rectokel dari vagina.
DIAGNOSIS

Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan genikologi umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus uteri.

Friedman dan Little (1961) mengajukan pemeriksaan sebagai berikut:

Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah portio uteri pada posisi normal, apakah portio dibawah posisi normal, apakah portio sampai introitus vagina, apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina.
BENTUK-BENTUK

Introitus Menganga : mudah dimasuki empat jari.
Cystocele : dinding depan vagina menonjol, dalam tonjolan ini terdapat dinding belakang kandung kemih sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urine.





Enterokel : biasanya berisi usus halus atau omentum dan mungkin menyertai uterus turun ke dalam vagina
Rectocele : dinding belakang vagina menonjol beserta dinding depan ampula recti menimbulkan kesukaran pada defekasi.





Prolapsus Uteri : portio tampak dalam introitus.
Prolapsus Uteri Totalis (Procidentia) : uterus tergantung diluar badan, terbungkus oleh vagina. Pada bentuk ini selaput lendir vagina menebal dan sering terjadi ulcus decubitus.

TERAPI

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan terapi prolapsus adalah:

- keadaan umum

- Masih bersuami atau tidak

- Keinginan punya anak

- Umur

- Tingkat prolaps

Terapi prolaps dapat dibagi:

A. Terapi Kuratif atau Non Operatif

Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan dan hanya memberikan hasil sementara. Cara ini dilakukan pada prolaps ringan tanpa keluhan, jika yang bersangkutan masih ingin punya anak. Jika penderita menolak untuk dilakukan operasi atau jika kondisinya tidak mengijinkan untuk dioperasi.

Yang termasuk pengobatan tanpa operasi:

1) Latihan-latihan otot dasar panggul

2) Latihan ini sangat berguna pada prolaps yang ringan yang terjadi pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan. Tujuannya adalah untuk menguatkan otot dasar panggul atau otot uang mempengaruhi mictio. Latihan ini dilakukan selama beberapa bulan.

3) Caranya: penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan panggul, seperti biasanya setelah BAB, atau penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air kencing dan tiba-tiba menghentikannya.

4) Latihan ini bias menjadi lebih efektif dengan menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri dari obsturator yang dimasukkan ke dalam vagina dengan selaput pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan demikian kontraksi otot-otot dasar panggul dapat diukur.

5) Stimulasi otot-otot dengan alat-alat listrik

6) Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang dalm pessarium yang dimasukkan dalam vagina.

7) Pengobatan dengan Pessarium

8) Pengobatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif, yakni menahan uterus di tempatnya selama dipakai. Jika Pessarium diangkat timbul prolaps lagi. Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Kerugian pessarium ini adalah perasaan rendah diri dan pessarium harus dibersihkan sebulan sekali. Untuk penanganan prolapsus uteri selama awal kehamilan, uterus harus direposisi dan dipertahankan dalam posisinya dengan pessarium yang sesuai.

B. Terapi Operatif

1. Ventrofiksasi

Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak dilakukan operasi untuk membuat uterus Ventrofiksasi, dengan cara memendekkan ligamentum Rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare.

2. Hysterektomi vagina

Hysterektomi vaginal sebagai terapi prolaps kita pilih kalau ada methroragi, patologi portio atau tumor dari uterus, juga pada prolaps uteri tingkat lanjut.

3. Manchester – Fothergill

Dasarnya ialah memendekkan ligamentum Cardinale. Disamping itu dasar panggul diperkuat ( Perineoplasty ) dan karena sering ada elongasio coli dilakukan amputasi dari portio. Cystokele atau Rectokele dapat diperbaiki dengan Kolporafia anterior atau posterior.

4. Kolpocleisis ( Neugebauer – Le Fort )

Pada wanita tua yang seksual tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan menghubungkan dinding vagina depan dengan bagian belakang, sehingga lumen vagina ditiadakan dan uterus terletak diatas vagina yang tertutup itu. Akan tetapi operasi ini dapat mengakibatkan tarikan pada dasar kandung kemih kebelakang, sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urine, atau menambah inkontinensia yang telah ada. Coitus tidak mungkin lagi setelah operasi.

5. Operasi transposisi dari Watkins ( interposisi operasi dari Wertheim )

Prinsipnya ialah menjahit dinding depan uterus pada dinding depan vagina, sehingga korpus uteri dengan demikian terletak antara dinding vagina dan vesika urinaria dalam hiperantefleksi dan ekstra peritoneal. Disambing itu dilakukan amputasi portio dan perineoplasty. Setelah operasi ini wanita tidak boleh hamil lagi, maka sebaiknya dilakukan dalam menopause.

PROFILAKSIS

Untuk mencegah terjadinya prolaps uteri :

Kandung kemih hendaknya kosong pada waktu partus terutama dalam kala pengeluaran.
Robekan perineum harus dijahit legeartis.
Kala pengeluaran hendaknya jangan terlalu lama supaya dasar panggul jangan lama teregang. Pergunakan episiotomi jika diperlukan.
Memimpin persalinan dengan baik, agar dihindarkan penderita meneran sebelum pembukaan lengkap betul.
Menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta ( perasat Crede ).
KOMPLIKASI

1. Keratinisasi Mukosa Vagina dan Portio Uteri

Procidentia uteri disertai keluarnya dinding vagina ( inversion ) karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut dan berwarna keputuh-putihan.

2. Dekubitus

Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian dalam, hal itu dapat menyebabkan luka dan radang dan lambat laun timbul ulcus dekubitus. Dalam keadaan demikian perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita berumur lanjut. Biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan kepastian ada tidaknya karsinoma insitu.

3. Hipertrofi Serviks Uteri dan Elongasio Koli

Jika serviks uteri menurun sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih cukup kuat, maka kerana tarikan ke bawah dari bagian uterus yang turun serta pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan Elongasio Kolli. Hipertrofi ditentukan dengan periksa lihat dan periksa raba sedang pada elongasio kolli serviks uteri pada pemeriksaan raba lebih panjang dari biasa.

4. Gangguan miksi dan stress incontinensia

Pada sistocele berat miksi kadang-kadang terhalang, sehingga kandung kemih tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bias juga menyempitkan ureter, sehingga bias menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya Cystocele dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kemih dan urethra akibat stress incontinensia.

5. Infeksi Saluran Kemih

Adanya retensio urine memudahkan timbulnya infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan menyebabkan Pielitis dan pielonefritis. Akhirnya hal itu dapat menyebabkan gagal ginjal.

6. Kemandulan

Karena menurunnya serviks uteri sampai dekat pada introitus vagina atau keluar sama sekali dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.

7. Kesulitan Pada Waktu Partus

Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu persalinan bias timbul kesulitan pada pembukaan serviks, sehingga kemajuan persalinan terhalang.

8. Haemorhoid

Feses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan obstipasi dan timbulnya haemorhoid.

9. Inkarserasi Usus Halus

Usus halus yang masuk kedalam enterokel dapat terjepit dan tidak direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit.

PROLAPS UTERI DALAM KEHAMILAN

Kalau uterus dengan prolapsus parsialis menjadi hamil maka biasanya uterus yang membesar itu keluar dari rongga kecil dan terus tumbuh dalam rongga perut. Kalau uterus naik maka serviks ikut tertarik keatas sehingga prolaps tidak tampak lagi atau berkurang.

Jika ada prolaps dalam kehamilan maka baiknya uterus ditahan dengan pessarium sampai bulan keempat, kalau dasar panggul terlalu lemah sehingga pessarium terus jatuh maka pasien dianjurkan istirahat rebah sampai bulan keempat. Istirahat mengurangi penderitaan wanita dan memungkinkan uterus tumbuh secara wajar sampai kehamilan mencapai cukup bulan.


KESIMPULAN

Prolapsus uteri adalah keadaan yang jarang terjadi. Kebanyakan terjadi pada wanita usia tua dan grandemultipara pada masa menopause. Hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut. Prolapsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita tua dan wanita dengan pekerjaan berat.

Prolapsus uteri dapat disebabkan oleh dasar panggul yang lemah oleh karena partus yang berulang atau dengan penyulit (ruptur perineum atau regangan) atau usai lanjut, retinakulum uteri lemah, tekanan abdominal yang meninggi, ekspresi menurut Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta.

Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi seperti keratinisasi mukosa vagina dan portio uteri, dekubitus, hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli, gangguan miksi dan stress incontinensi, infeksi saluran kemih, kemandulan, kesulitan pada waktu partus, haemorrhoid, inkarserasi usus halus.

SARAN

Perlunya pencegah terhadap kemungkinan terjadinya prolaps uteri dengancara mengosongkan kandung kemih pada kala pengeluaran, penjahitan perineum yang lege artis, bila perlu lakukan episiotomi, memimpin persalinan dengan baik, hindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (parasat crede).

Penanganan prolapsus uteri sebaiknya dilakukan dengan menilai keadaan dari keadaan umum pasien, umur, masih bersuami atau tidak, tingkat prolaps sehingga didapatkan terapi yang paling ideal untuk setiap pasien.