Rabu, 24 Agustus 2011

Atresia Bilier



Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Gangguan ini meski jarang terjadi adalah kejadian yang biasa dalam dunia medis. Namun dalam waktu belakangan ini penyakit ini seakan menjadi primadona ketika Bilqis, seorang anak penderita atresia bilier diungkap secara berlebihan di media masa khususnya televisi. Namun “blow up” berita ini sangat positif bagi isu kesehatan anak khususnya penderita gangguan tersebut, daripada harus mengungkapkan secara berlebihan isu politik murahan yang malah mengadu domba masyarakat.

Tragisnya, sebagian besar bayi penderita atresia bilier akhirnya tidak tertolong lantaran tidak punya biaya untuk cangkok hati. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).

Ketika cangkok hati belum banyak bisa dilakukan di Indonesia. Sementara cangkok hati di luar negeri membutuhkan biaya miliaran rupiah. Jadi penanganan optimal bagi banyak penderita adalah masih impian.

Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi empedu.
Sumbata di saluran tertentu di sitem fungsi hati bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati. Mekanisme Terjadinya Gangguan Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.

Antara hati dan usus halus terdapat saluran yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya empedu yang diproduksi hati menuju usus. Jika saluran ini buntu, misalnya karena kelainan bawaan sejak lahir, disebut sebagai atresia bilier.

Empedu adalah cairan yang mengandung kolesterol, garam empedu, dan sampah metabolisme seperti bilirubin. Garam empedu berfungsi untuk memecah lemak yang kita konsumsi. Empedu akan dilepaskan dari jaringan hati dan untuk sementara mengalir dan ditampung oleh kandung empedu. Baru pada saat makan, cairan empedu dipompa masuk ke dalam usus halus.
Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi sumbatan itu adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier.

Jika saluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan timbul warna kuning di kulit dan mata (ikterus/jaundice) akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah.

Gejala

Gejala biasanya dapat dideteksi dalam waktu 2 minggu setelah lahir, biasanya gejala utamanya adalah kulit kuning yang berkepanjangan. Pada keadaan normal bayi baru lahir timbul kuning, pada keadaan atreasia bilier kuning yang terjadi berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
Gejala lain yang menyertai berupa air kemih bayi berwarna gelap, tinja berwarna pucat atau berwarna putih atau penambahan berat badan berlangsung lambat hati membesar.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gangguan pertumbuhan, kulit gatal-gatal, mudah terjadi rewel dan tekanan darah tinggi pada vena porta atau pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan adalah adanya tanda ikterus atau kuning pada kulit, pada mata dan di bawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar juga kadang disertai limpa membesar.

Langkah awal adalah menentukan gejala kuning yang ada harus dibedakan apakah kuning karena unconjugated ilirubin dan conjugated bilirubin. Ditentukan dengan pemeriksaan bilirubin, bila terdapat peningkatan bilirubin direk harus dicurigai conjugated bilirubinemia atau tertdapat sumbatan di sistem saluran hati dan empedu termasuk diantaranya atresia bilier.

Pemeriksaan yang biasa dilakukan pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan darah dilakukan pemeriksaan fungsi hati khususnya terdapat peningkatan kadar bilirubin direk. Disamping itu dilakukan pemeriksaan albumin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, GGT. Dan faktor pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah USG sistem hati dan empedu, Rontgen perut, Scintigrafi, Kolangiogram atau kolangiografi intraoperatif dengan memasukkan cairan tertentu ke jaringan empedu untuk mengetahui kondisi saluran empedu. Pemeriksaan yang juga penting adalah Biopsi hati, untuk melihat struktu organ hati apakah terdapat sirosis hati atau kompilkasi lainnya. Laparotomi biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan.

Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (operasi Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

Mengganggu Organ Tubuh

Bila atresia biler timbul berkepanjangan sangat beresiko terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

Pada Atresia Bilier berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
Gangguan pada metabolisme logam, terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan pembengkakan, vasokonstriksi, dan progresifitas sumbatan. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. Mekanisme kerusakan hati sekunder disebabkan karena asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na, K-ATPase, Mg-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.

Dalam proses imunologis, pada atresia bilier didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.’

dr Kasai

Pengobatan
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

Pasien hanya bisa menjalani prosedur kasai atau penyambungan usus ke hati. Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Selain itu, bila orangtua bayi berasal dari keluarga tidak mampu maka memperumit permaslahan karena tak bisa menyediakan uang yang cukup untuk biaya operasi dan cangkok hati. Penderita penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Pencangkokan (Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup dari seseorang donor kepada orang lain atau resipien. Atau transplantasi dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya misalnya pencangkokan hati, dengan tujuan mengembalikan fungsi hati yang telah hilang. Transplantasi bisa memberikan keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Transfusi darah merupakan jenis transplantasi yang paling sering dilakukan.

Angka keberhasilan transplantasi hati lebih rendah daripada transplantasi ginjal, tetapi 70-80% resipien bertahan hidup minimal selama 1 tahun. Mereka yang bertahan hidup kebanyakan adalah resipien yang hatinya telah mengalami kerusakan akibat sirosis bilier primer, hepatitis atau pemakaian obat yang merupakan racun bagi hati. Tansplantasi hati sebagai pengobatan untuk kanker hati jarang berhasil. Kanker biasanya kembali tumbuh pada hati yang dicangkokkan atau pada organ lainnya dan kurang dari 20% resipien yang bertahan hidup selama 1 tahun. Yang mengejutkan adalah bahwa reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi penolakan pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung). Tetapi setelah pembedahan harus diberikan obat immunosupresan. Jika resipien mengalami pembesaran hati, mual, nyeri, demam, sakit kuning atau terdapat kelainan fungsi hati yang dapat diketahui dari hasil pemeriskaan darah, maka bisa dilakukan biposi jarum. Hasil biopsi akan membantu menentukan apakah hati yang dicangkokkan telah ditolak dan apakah dosis obat immunosupresan harus ditingkatkan.

Transplantasi organ tubuh biasanya melibatkan pencarian donor yang sesuai, kemungkinan timbulnya resiko akibat pembedahan, pemakaian obat-obat immunosupresan yang poten, kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh resipien dan kemungkinan terjadinya komplikasi atau kematian. Untuk orang-orang yang organ vitalnya misalnya jantung, paru-paru, hati, ginjal atau sumsum tulang) sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya dan fungsinya tidak dapat kembali normal, maka transplantasi organ bisa merupakan satu-satunya peluang untuk bertahan hidup.

Jaringan atau organ yang didonorkan bisa berasal dari orang lain yang masih hidup maupun yang belum lama ini sudah meninggal. Yang lebih disukai adalah jaringan yang berasal dari orang yang masih hidup karena angka keberhasilannya tinggi. Tetapi jantung, hati, paru-paru dan komponen mata (kornea dan lensa) hanya bisa didapatkan dari seseorang yang baru saja meninggal dan biasanya akibat kecelakaan bukan karena sakit. Bagian dari jaringan hati juga telah ditransplantasikan dari beberapa donor yang masih hidup. Pencangkokan organ dari donor hidup dilakukan dalam waktu beberapa menit setelah organ diangkat. Beberapa organ hanya bertahan selama beberapa jam diluar tubuh; sedangkan organ lainnya dapat disimpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari.

Pencocokan Jaringan
Pencangkokan jaringan dan organ merupakan suatu proses yang rumit. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan akan menyerang dan menghancurkan jaringan asing (keadaan ini dikenal sebagai penolakan cangkokan). Untuk mengurangi beratnya penolakan tersebut, maka sebaiknya jaringan donor dan jaringan resipien harus memiliki kesesuaian yang semaksimal mungkin.

Untuk mencapai tingkai kesesuaian yang semaksimal mungkin, bilakukan penentuan jenis jaringan donor dan resipien. Antigen adalah zat yang dapat merangsang terjadinya suatu respon kekebalan, yang ditemukan pada permukaan setiap sel di tubuh manusia. Jika seseorang menerima jaringan dari donor, maka antien pada jaringan yang dicangkokkan tersebut akan memberi peringatan kepada tubuh resipien bahwa jaringan tersebut merupakan benda asing.
3 antigen spesifik pada permukaan sel darah merah adalah A, B dan Rh, yang menentukan apakah akan terjadi penolakan atau penerimaan pada suatu transfusi darah. Karena itu darah digolongkan berdasarkan ketiga jenis antigen tersebut.
Jaringan lainnya memiliki berbagai antigen, sehingg penyesuaian menjadi lebih mungkin terjadi. Sekelompok antigen yang disebut human leukocyte antigen (HLA) merupakan antigen yang paling penting pada pencangkokan jaringan lain selain darah. Semakin sesuai antigen HLAnya, maka kemungkinan besar pencangkokan akan berhasil.

Biasanya sebelum suatu organ dicangkokkan, jaringan dari donor dan resipien diperiksa jenis HLAnya. Pada kembar identik, antigen HLAnya benar-benar sama. Pada orang tua dan sebagian besar saudara kandung, beberapa memiliki antigen yang sama; 1 diantara 4 pasang saudara kandung memiliki antigen yang sama.

Penekanan Sistem Kekebalan

Meskipun jenis HLA agak mirip, tetapi jika sistem kekebalan resipien tidak dikendalikan, maka organ yang dicangkokkan biasanya ditolak.
Penolakan biasanya terjadi segera setelah organ dicangkokkan, tetapi mungkin juga baru tampak beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian.
Penolakan bisa bersifat ringan dan mudah ditekan atau mungkin juga sifatnya berat dan progresif meskipun telah dilakukan pengobatan. Penolakan tidak hanya dapat merusak jaringan maupun organ yang dicangkokkan tetapi juga bisa menyebabkan demam, menggigil, mual, lelah dan perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba.

Penemuan obat-obatan yang dapat menekan sistem kekebalan telah meningkatkan angka keberhasilan pencangkokkan.
Tetapi obat tersebut juga memiliki resiko. Pada saat obat menekan reaksi sistem kekebalan terhadap organ yang dicangkokkan, obat juga menghalangi perlawanan infeksi dan penghancuran benda asing lainnya oleh sistem kekebaln. Penekanan sistem kekebalan yang intensif biasanya hanya perlu dilakukan pada minggu-minggu pertama setelah pencangkokkan atau jika terlihat tanda-tanda penolakan. Berbagai jenis obat bisa bertindak sebagai immunosupresan. Yang sering digunakan adalah kortikosteroid (misalnya prednison); pada awalnya diberikan melalui infus kemudian dalam bentuk obat yang diminum. Obat lainnya adalah: Azatioprin, Takrolimus , Mikofenolat mofetil, Siklosporin , Siklofosfamid (terutama digunakan pada pencangkokkan sumsum tulang) , Globulin anti-limfosit dan globulin anti-timosit dan Antibodi monoklonal.

Deteksi dini dari kolestasis neonatal merupakan tantangan bagi dokter dan dokter spesialis anak. Kunci utama adalah pemahaman dan kecermatan pada bayi yang mengalami ikterus atau kuning pada usia diatas 2 minggu. Dengan ditemukannya peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi maka proses diagnosa untuk mencari penyebab harus segera dilakukan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam pengobatan maupun pembedahan. Kegagalan dalam deteksi dini penyebab sumbatan di sistem saluran empedu menyebabkan terlambatnya tindakan sehingga mempengaruhi prognosis.

Semoga atensi media dan upaya mengangkat permasalahan Bilqis harus terus dilanjutkan. Karena, ternyata masih banyak Bilqis-bilqis lain yang lebih berat masalah kesehatan yang dihadapi dan juga lebih membutuhkan bantuan dan kepedulian masyarakat karena masalah ekonomi yang dihadapinya.

Supported by

Koran Indonesia Sehat Yudhasmara Foundation

* Clinic For Children http://childrenclinic.wordpress.com/
* Children Allergy Clinic http://childrenallergyclinic.wordpress.com/
* Picky eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan Pada Anak) http://mypickyeaters.wordpress.com/


Copyright © 2010, Koran Indonesia Sehat Information Education Network. All rights

Tidak ada komentar:

Posting Komentar