Sabtu, 09 Juli 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS (Acquireed Imuno Deficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Deficyency Virus) yang mudah menular dan mematikan. HIV terus menerus merusak sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang sehat mengendalikan kuman agar tidak menyebabkan penyakit namun setelah beberapa waktu sistem kekebalan menjadi begitu rusak sehingga kuman dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya kematian. AIDS terjadi sewaktu sistem kekebalan menjadi terlalu lemah, dan disertai dengan infeksi yang dinamakan infeksi oppurtunistik, kurang lebih 7-10 tahun setelah penularan HIV (Nursalam dkk, 2007).
Jumlah orang yang terinfeksi terus meningkat pesat dan tersebar luas di seluruh dunia. WHO (World Health Organization) menyebutkan hingga akhir Desember 2000, disebutkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi HIV masih tetap berlangsung, 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Di Indonesia sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun 1987 hingga akhir 2002 telah di laporkan orang yang rawan tertular HIV berkisar antara 13 juta sampai 20 juta orang, sedangkan orang dengan HIV diperkirakan antara 90 ribu sampai 130 ribu orang (Nasronuddin,2007).
Di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi juga tidak lepas dari kasus HIV/AIDS hingga april 2007 terdapat sekitar 1639 orang telah terjangkit, Makassar sendiri di perkirakan terdapat 1423 orang terinfeksi HIV/AIDS dan ter khusus di PKM Jumpandang Baru data yang di peroleh hingga akhir oktober 2008 sebanyak 53 orang. Dan ini berarti jumlah penduduk akan semakin berkurang bukan saja karena keberhasilan program KB tetapi oleh karena kematian akibat penderita HIV/AIDS yang cenderung meningkat (Nasronuddin, 2004). Pada pasien HIV/AIDS sistem imunitasnya akan mengalami penurunan. Seseorang yang dinyatakan terinfeksi HIV butuh waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung kondisi fisik dan psikologinya, namun sejak dinyatakan terinfeksi HIV sering penderita mengalami stress, dikarenakan tingginya tekanan emosional yang mereka terima.
Sampai saat ini HIV/AIDS belum bisa di sembuhkan namun infeksi yang terjadi masih bisa diobati ataupun dicegah dengan obat. Sekarang tersedia jenis obat baru yang dapat mempertahankan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) selama bertahun-tahun, yaitu ARV (anti retroviral). Terapi ARV diberikan kepada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oppurtunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup, dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS.
Tetapi ARV merupakan terapi yang digunakan dengan menggunakan obat. Resistensi terhadap obat-obat tersebut sangat mudah terjadi apabila dosisnya dilewatkan, dan penelitian menunjukkan bahwa pasien perlu memakai sedikitnya 95 % dosis untuk tetap mempertahankan menekan virus. Ini berarti tidak melewatkan lebih dari tiga dosis dalam sebulan untuk pengobatan dua kali sehari, dan tetap mempertahankan tingkat kepatuhan secara terus-menerus. (Keith Alcorn, 2007)
Mempertahankan kepatuhan pasien membutuhkan kewaspadaan. Penelitian di Negeria dilakukan di Rumah Sakit Universitas Abuja dan Institute Of Human Virology Universitas Maryland tahun 2006 menemukan bahwa satu diantara lima pasien dilaporkan tingkat kepatuhannya kurang dari 95 % (keith alcorn,2007 ).
Pengobatan ARV dapat menekan replikasi virus HIV, sehingga virus HIV dalam bentuk bebas (viral load) berkurang sampai tidak dapat terdeteksi lagi. Apabila pengobatan ARV dihentikan, replikasi virus kembali terjadi dan biasanya akan terjadi resistensi terhadap pengobatan ARV terdahulu sehingga perlu diganti dengan obat kombinasi yang baru. Keberhasilan pengobatan ARV di tentukan oleh kepatuhan pasien terhadap terapi dan dapat di evaluasi melalui viral load.
Pengobatan ARV dilakukan seumur hidup untuk menghambat replikasi virus HIV dan menekan Viral load, oleh karena itu kepatuhan terhadap pengobatan ini sangatlah berarti bagi pasien HIV.
Kepatuhan terhadap terapi ARV sangat di tentukan oleh berbagai factor diantaranya: pendidikan, pengetahuan, dukungan keluarga, biaya, kepercayaan, pekerjaan, pendampingan dan reaksi simpang obat.
Faktor-faktor ini turut menentukan kepatuhan penderita minum obat karena seorang penderita dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang baik, akan secara rutin minum obat untuk mengurangi dan menyembuhkan penyakitnya. Demikian juga dengan dukungan keluarga. Keluarga yang mampu melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga, akan mampu untuk menjaga kesehatan dan selalu memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang menderita HIV untuk selalu minum obat. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dapat di rumuskan bahwa pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui ada hubungan pengetahuan tentang terapi ARVdengan tingkat kepatuhan pasien HIV
b. Diketahui ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
c. Diketahui ada hubungan reaksi simpang obat dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV
d. Diketahui ada hubungan pendampingan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Institusi
Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap terapi ARV.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya keberhasilan terapi ARV pada pasien HIV.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.
3. Manfaat klinis
a. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV untuk menjalani terapi ARV
b. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan konstribusi yang positif bagi pasien HIV/AIDS dan keluarganya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG HIV/AIDS
1. Defenisi AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pertama kali diketahui pada tahun 1981 sebagai penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus, yang sebelumnya tidak diketahui, dan dikenal sebagai HIV. Pada tahun 1982 AIDS didefinisikan oleh Centers for Disease Control and Prevention , sebagai suatu penyakit fatal secara keseluruhan, yang kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan perawatan yang canggih selama perjalanan penyakit (Nursalam,2007).
2. Epidemologi
Faktor resiko epidemiologis meliputi : (Depkes RI, 2001) Perilaku beresiko (sekarang atau dimasa lalu).:
a. Pecandu narkotik suntikan.
b. Hubungan seksual yang tidak aman.
1) Memiliki banyak mitra seksual
2) Mitra seksual yang diketahui sebagai pasien HIV-AIDS
3) Mitra seksual dari daerah dengan prevalensi HIV-AIDS yang tinggi
4) Homoseksual

5) Pekerja pada tempat hiburan seperti : panti pijat, diskotik, karaoke atau tempat prostitusi terselubung.
6) Mempunyai riwayat penyakit menular seksual.
c. Riwayat menerima transfusi darah berulang.
d. Bayi-bayi dari ibu yang terinfeksi HIV-AIDS secara in-utero.
e. Riwayat perlukaan kulit :tato,tindik atau sirkumsisi dengan alat yang tidak steril.
3. Patofisiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA baru dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Retrovirus ditularkan melalui darah melalui kontak intim (seksual), dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Pada retrovirus, informasi genetik ditransmisikan melalui rantai tunggal RNA. Agar RNA mereplikasi diri, informasi ini ditransfer ke dalam nukleus sel hospes. Aliran informasi terbalik “retro” dari RNA ke DNA dibuat oleh enzim pembalik transcriptase yang terdapat dalam partikel retrovirus (Nasronuddin,2007).
Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik laten), dan menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses tersebut, HIV menghancurkan CD4+ dan limfosit. Limfosit T mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan sel lain antara lain memiliki marker permukaan seperti CD4+, CD8+ dan CD3+. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer sel dan makrofag saat ada antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker. Limfosit T juga mempunyai kemampuan untuk mensekresi sitokin seperti Interferon. Sitokin dapat mengikat sel target dan mengaktivasi proses inflamasi. Limfosit T juga membantu perkembangan sel, mengaktivasi fagositosis, dan menghancurkan sel target. Interleukin adalah sitokin yang bertugas sebagai messenger antar sel darah putih (Nursalam,2007).
Sel penjamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat pendek, yang berarti HIV secara terus menerus menggunakan sel penjamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel Dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan.Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat. Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu : type HIV-1 dan type HIV-2. Type HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat (Nursalam,2007).






4. Fase-Fase Infeksi
Fase-fase Lamanya Anti body yang terdeteksi Gejala-gejala Dapat ditularkan
Periode jendela 4minggu – 6 bulan setelah terinfeksi Tidak Tidak ada Ya
Infeksi HIV primer akut 1-2 minggu Kemungkinan Sakit seperti flu Ya
Infeksi simptomatik
1-15 tahun atau lebih Ya Tidak ada Ya
Supresi imun simptomatik 3 tahun
Ya Demam,keringatan pada malam hari, penurunan BB, diare, neuropathy, keletihan, ruam kulit limfadenopaty, perlambatan kogntif, lesi oral. Ya
AIDS Bervariasi: 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS Ya Infeksi oppurtunistik berat dan tumor-tumor pada semua system tubuh, manifestasi neurologik Ya
Di Indonesia seorang dewasa (lebih dari 12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (Depkes RI, 2001).
Gejala-gejala Mayor yaitu: a)Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, b) Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, c)Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, d)Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, e)Demensia / HIV ensefalopati,
Gejala Minor yaitu:a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan, b)Dermatitis generalisata, c) Adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, d)Kandidiasis orofaringeal, e)Herpes simpleks kronik progresif, f)Limfadenopati generalisata, g)Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita, h)Retinitis cytomegalovirus.
Bila ada salah satu tanda / gejala dibawah ini, dilaporkan sebagai kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium ;a) Sarkoma Kaposi,b) Pneumoni yang mengancam jiwa dan berulang
5. Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu : air mani, darah, cairan vagina, ASI, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air mani, darah dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang diketahui adalah : (Depkes RI, 2001)
a. Penularan melalui hubungan seksual.
Hubungan seksual lewat liang dubur, lewat liang vagina, kontak dengan menggunakan mulut, dan ciuman.
b. Penularan melalui darah.
Transmisi melalui transfusi darah, penularan melalui alat suntik atau alat medis lain yang tidak steril dan pada penyalahguna narkotika yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan bergantian.
c. Penularan melalui cairan tubuh lain.
Dapat terjadi karena penerimaan organ, jaringan atau air mani.
d. Penularan secara perinatal.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan kepada bayi yang dikandungnya terutama terjadi sewaktu proses persalinan. Bayi dapat pula tertular dari ibu sewaktu masih dalam kandungan atau tertular melalui ASI.
6. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mujarab yang dapat menyembuhkan AIDS ataupun vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi HIV, oleh sebab itu maka upaya pencegahan non medis (penyuluhan dan konseling) merupakan satu-satunya upaya pencegahan yang efektif. Dalam penyuluhan tersebut penting untuk dijelaskan tentang cara penularan berikut hal-hal yang tidak menularkan HIV, termasuk pentingnya dukungan dari keluarga bila sudah positif terinfeksi. Terdapat beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pasien HIV-AIDS yaitu : 1) minum obat tepat waktu sesuai anjuran dokter (bagi yang sudah memperoleh ARV) dan mencegah infeksi sekunder, 2) konsumsi nutrisi yang adekuat, 3) aktivitas dan istirahat yang cukup, dan 4) menghindari stres.
B. Tinjauan umum tentang ARV
Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di negara maju berubah secara drastis dengan tersedianya obat anti retroviral (ARV). Obat ini menghambat replikasi virus HIV dengan menghambat enzim pembalik transkriptase. Terapi antiretroviral dengan mengkombinasi neberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Saat ini ada tiga golongan antiretroviral (ARV) yang tersedia di Indonesia : (Depkes RI, 2003)
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) : obat ini berfungsi menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah zidovudine (ZDV / AZT), lamivudine, didanosine, zalcitabine, stavudine dan abacavir.
2. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) : obat ini berbeda namun memiliki fungsi yang hampir sama dengan NRTI. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah nevirapine (NVP), efavirenz (EFV), dan delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI) : obat ini bekerja untuk menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino yang menjadi protein yang lebih kecil. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), saquinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV) dan lopinavir (LPV).
Tujuan dari terapi antiretroviral adalah : (Depkes RI, 2003).1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.2) Memperbaiki mutu hidup.3) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.4) Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam waktu yang lama.
Pemberian ARV hanya diindikasikan bagi mereka (pasien HIV-AIDS) yang memenuhi kriteria sebagai berikut : (Depkes RI, 2003)1) Infeksi yang telah dikonfirmasi dengan tes antibodi.2)Keputusan untuk mulai menggunakan ARV diambil setelah pasien dan keluarga atau pendamping mendapat informasi yang lengkap tentang dana yang dibutuhkan, jaminan kepatuhan berobat yang tinggi, efek samping yang mungkin terjadi, dan lain-lain.3) Indikasi laboratorium atau klinis sebagai berikut :Penyakit HIV stadium IV (WHO) tanpa memperhatikan jumlah CD4; atau jika tes CD4 dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun dibawah 200; atau jika tes CD4 tidak dapat dilakukan, ARV sebaiknya dimulai jika infeksi HIV memenuhi klasifikasi klinis stadium II atau III (WHO), dengan limfosit total dibawah 1200.
C. Tinjauan umum tentang kepatuhan minum obat pada pasien HIV
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secaa benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien di libatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak. Sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterapkan oleh dokter/apotekernya. Kepatuhan ini amat penting dalam pelaksanaan ART, karena:
Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam dara maka akan memungkinkan berkembangnya resistensi. Meminum dosis obat tepat waktu dan meminumnya secara benar (mis. Bersama makanan vs lambung kosong) adalah penting untuk mencegah terjadinya resistensi.Derajat kepatuhan sangat berkorelasi dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi virus.
Terdapat korelasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan:
1. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, disamping meningkatkan efektivitasjuga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resistensi erhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya perjalanan penyakit.
2. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ART harus diminum seumur hidup secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk berkaitan dengan makanan.
3. kiat penting untuk mengingat minum obat:
a. Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
b. Harus selalu tersedia obat di mana pun biasanya penderita berada, misalnya di kantor, di rumah, dan lain-lain.
c. Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas dan lain-lain asal tidak memerlukan lemari es)
d. Pergunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bias diatur agar berbunyi setiap waktunya minum obat)
e. Pergunakan pelayanan pager untuk mengingatkan waktu saat minum obat.
D. Tinjauan umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, ketepatan berobat (Sacket 1985 dalam Daili, 1997).
Ketaatan atau kepatuhan merupakan perilaku yang disampaikan secara berkesinambungan oleh seseorang dalam kesehariannya yang berasal dari adanya suatu motivasi yang memiliki komponen emosional (afektif), sehingga mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dan cenderung diulang karena menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menyenangkan (Irwanto, 1996).
Sementara Lilja (1985) menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita tidak hanya kepatuhan terhadap pengobatan dan diet yang ditinjau dari segi kesehatan, tetapi juga upaya penderita berobat ke dukun penyembuh berkurang.
Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara lain kepatuhan berobat yang dinyatakan oleh Sacket (1985) dan Saratino (1990). Sacket menyatakan bahwa kepatuhan berobat dapat diketahui melalui tujuh (7) cara yaitu : 1) Kepatuhan dokter yang bersangkutan didasarkan pada hasil pemeriksaan, 2) Pengamatan terhadap jadwal pengobatan, 3) Penilaian pada tujuan pengobatan, 4) Penghitungan jumlah tablet (pil) pada akhir pengobatan, 5) Pengukuran kadar obat dalam darah dan urin, 6) wawancara pada penderita dan 7) Pengisian formulir khusus. Saratino menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita dapat diketahui melalui tiga cara yaitu : 1) Perhitungan sisa obat secara manual, 2) Perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektronik serta, 3) pengukuran berdasarkan tes biokimia (kadar obat) dalam darah dan urin (Daili, 1997).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang tidak patuh untuk berobat adalah antara lain :
1. Pengetahuan.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga(Notoatmodjo, 2003).
Sesuai dengan pendapat Kuncoroningrat yang dikutip Nursalam & Siti Pariani ( 2001) bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan meghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai – nilai baru yang diperkenalkan. Demikian pula pendapat Notoadmojo (1996) bahwa pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya.
Penderita HIV yang berpengetahuan cukup akan berbuat secara teratur dan terhindar dari ketidak patuhan , hal ini dapat dipahami karna dengan pengetahuannnya tentang penyakit HIV, tentang pentingnya kesehatan dan perlunya berobat teratur maka mereka akan terdorong berobat secara teratur. Begitupun sebaliknya tingkat pegetahuan rendah akan mempunyai resiko tidak patuh karna kurang memahami tentang penyakit yang dideritanya sehingga cenderung malas minum obat dan hanya akan mencari pengobatan jika keadaan penyakitnya sudah parah.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).
2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh keluarga untuk melakukan sesuatu terhadap penderita HIV. Dukungan keluarga ini tidak terlepas dari lima fungsi perawatan kesehatan keluarga yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, keluarga mampu mengambil keputusan, keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan, keluarga mampu memodifikasi lingkungan keluarga dalam rangka meningkatkan kesehatan keluarga dan keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk dalam rangka menangani masalah kesehatan yang dihadapi oleh keluarga (Keliat, 1992).
3. Reaksi simpang obat
Pasien yang sedang mendapatkan HAART ( Highly Active Anti Retroviral Therapy ) umumnya menderita reaksi simpang obat. Sebagai akibatnya, pengobatan infeksi HIV merupakan tindakan yang kompleks antara menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan resiko toksisitas obat. Sekitar 25 % penderita menghentikan tetapi pada tahun pertama karena reaksi simpang obat. Dan 25 % penderita tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan reaksi simpang yang ditimbulkan oleh ARV (Ammassari, 20001).
Pasien HIV yang melaporkan mengalami reaksi simpang obat yang signifikan, cendrung untuk tidak patuh pada pengobatan (Ammassari, 20001). Hal ini sangat meugikan pasien karena bisa menimbulkan resistensi obat dan memburuknya kondisi klien. Karena itu peran perawatan sangat penting dalam memberi konseling dan pendidikan kesehatan tentang reaksi simpang ARV dan perawatannya, pentingnya kepatuhan, interaksi obat, dan segala sesuatu hal yang menyangut pengobatan ARV. Peran yang tak kalah penting adalah memoritor secara teratur pasien untuk deteksi dini reaksi simpang ARV dan bisa segera mengatasi reaksi simpang yang timbul bersama dokter dan tenaga kesehatan lain serta pasien itu sendiri.
a. Reaksi simpang obat Berdasarkan Kelas ARV(nursalam dkk 2007)
Reaksi simpang obat terjadi pada semua obat dari klas spesifik di bawah ini:
1) NRTI. Pada umumnya obat-obatan jenis ini memiliki efek samping berupa terajinya toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat/toksisitas hepar. Gejala asidosis laktat dapat terjadi selama 1 sampai 20 bulan setelah permulaan ART. Gejala yang muncul biasanya berupa: Mual, muntah,Nyeri perut,Hepatomegali,Dispnue atau takipnue,Fatigue dan Penurunan BB secara cepat tanpa sebab yang di ketahui. Bila gejala-gejala tersebut di temukan segera hentikan pemberian ART. Jika terjadi Asosiasi laktat, maka restart ART. Setelah terjadi perbaikan gejala maka:restart ART dengan 1 PI, 1 NNRTI dan ABC atau TDF; sedangkan AZT, 3Tc, d4T, dan ddI harus di hindari.
2) NNRTI. Untuk obat-obatan dari jenis NNRTI efek sampingnya adalah adanya ruam kulit dan hepatitis. Penggunaan non-nukleosida RT inhibitors menyebabkan terjadinya ruam kulit. Ruam eritematous dan maculo papular dapat berkembang menjadi steven Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Ruam karena nevirapine lebih umum dan lebih berat dialami wanita (12% vs 8%). Biasanya terjadi dalam empat minggu pertama pengobatan ruam kulit karena NNRTIs (Nursalam,2007).
b. Kapan harus mengganti terapi
Ada saatnya pasien dan dokter pendampingnya harus merevisi kembali terapi yang di lakukan selama ini. Ada saat kritis dimana terapi ARV pada penderita HIV harus di ganti hal itu di sebabkan : Adanya Reaksi simpang salah satu obat dari kombinasi tiga obat atau terjadi resistensi yang menyebabkan harus dialakukannya penggantian seluruh regimen dengan regimen lini kedua (Nursalam,2007).
4. Monitoring/Pendampingan
Selain adanya kesadaran pasien untuk mematuhi peraturan ARV, diperlukan juga adanya monitoring yang dilakukan oleh pihak yang berwenang (perawat, konselor, dan dokter) atau pihak yang berhubungan dengan ODHA lainya. Upaya monitoring terdiri atas:
a. Monitoring berkala, monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1) Monitoring kepatuhan yang harus didiskusikan pada setiap kunjungan.
2) Monitoring efek samping ARV, yang terdiri atas pertanyaan langsung, pemeriksaan klinis dan tes laboratarium.
3) Monitoring keberhasilan ARV, monitoring ini berupa indicator klinis misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4, dan viral load.
b. Monitoring klinis. Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukan pemeriksaan klinis.
1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika terjadi efek samping
2) Kunjungan bulanan sesudahnya, atau lebih bila di perlukan.
3) Tiap kunjungan tanyakan tentang gejala, kepatuhan, masalah yang berhubungan dengan HIV dan non HIV, dan kualitas hidup.
4) Pemeriksaan fisik, berat badan, dan suhu.
5. Kemiskinan /Biaya
Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biasanya relatif murah, namun masih banyak di antara penduduk Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan ke rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat atau mereka sudah mencoba ke rumah sakit dan setelah mendapatkan resep harus menebus obat dengan harga yang mahal(Notoatmojo,2003).
6. Kepercayaan
Masih banyak masyarakat yang lebih percaya kepada dukun daripada tenaga kesehatan karena pengaruh dukun dalam masyarakat sangat besar khususnya di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa dukun tidak hanya bisa mengobati penyakitnya tetapi juga memberikan perlindungan emosional (emotional security)(Notoatmojo,2003).
7. Pendidikan.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni : 1) Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), 2) Proses (uapaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), 3) Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasif, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan atau penyuluhan. Dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian apabila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, akan langgeng bahkan selama hidup dilaksanakan.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang diorganisir secara bertingkat-tingkat mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung secara terpadu dengan kegiatan hidup sehari-hari dan merupakan proses yang paling tua dan paling lama dalam kehidupan manusia. Ia meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap dan cara hidup pada umumnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas pengetahuan yang dimiliki, karena telah melalui proses belajar yang tidak didapatkan pada tingkat pendidikan sebelumnya. Dalam proses belajar akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang dalam diri individu (Notoatmodjo, 2003).


















BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan melalui pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses dan output. Variabel independent faktor pendidikan , faktor pengetahuan , faktor kepercayaan, faktor pekerjaan, faktor reaksi simpang obat, faktor biaya, faktor Pendampingan, faktor dukungan keluarga sebagai input dan variabel Dependent Kepatuhan pasien HIV terhadap terapi ARV sebagai output. Skema kerangka konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


Variable Independent Variabel Dependent


















── = di teliti
---- = tidak diteliti

B. Hipotesis
Hipotesis alternatif/Hi :
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan penderita dengan kepatuhan berobat pasien HIV
2. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat penderita HIV
3. Ada hubungan antara reaksi simpang obat dengan kepatuhan berobat penderita HIV
4. Ada hubungan antara pendampingan dengan kepatuhan berobat penderita HIV












BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian
Dalam penelitian ini Metode penelitian yang di gunakan adalah metode “deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional” dimana penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
Pada penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat pengetahuan penderita, dukungan keluarga, Pendampingan dan reaksi simpang obat dengan kepatuhan penderita HIV terhadap terapi ARV.
B. Tempat dan waktu penelitian
Lokasi penelitian di sini adalah tempat dimana penelitian itu dilaksanakan. Yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar dan berlangsung selama 1 bulan yaitu 15 oktober s/d 15 November 2008
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita HIV yang terdaftar di Klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru kota Makassar yang berjumlah 53 orang yang sementara menjalani pengobatan


2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Oleh karena jumlah populasi yang diteliti pada penelitian ini sedikit, maka peneliti menjadikan semua populasi yang sesuai kriteria inklusi menjadi sampel penelitian (Total sampling), dengan kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi :
1) Penderita yang bersedia menjadi responden.
2) Penderita yang dewasa (>18 tahun).
3) Penderita yang terdaftar pada klinik VCT Puskesmas Ujung Pandang Baru.
4) Penderita yang berobat > 3 bulan
b. Kriteria Ekslusi:
1) Penderita yang tidak bersedia menjadi responden.
2) Penderita HIV yang tidak menggunakan terapi ARV

3. Besar sampel
Dalam pemilihan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan Total sampling atau pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Pasien yang terdaftar di klinik VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar berjumlah 53 orang, yang sesuai dengan kriteria inklusi hanya 34 orang.

D. Alur penelitian













Gambar 4.1 : Kerangka Kerja Penelitian.
E. Variabel penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dll). Semua variabel yang diteliti harus didentifikasi, mana yang termasuk variabel bebas (independent), variabel tergantung (dependent), variabel pengontrol dan variabel perancu.



2. Defenisi Operasional Kriteria Objektif
a. Kepatuhan berobat penderita HIV adalah penderita HIV yang memeriksakan diri dan menelan obat sesuai jadwal dan aturan yang berlaku secara rutin.
Kriteria objektif
Patuh : bila penderita rutin minum obat
Tidak patuh : apabila penderita minum obat tidak rutin
b. Pengetahuan adalah kemampuan penderita untuk memahami dan mengerti tentang penyakit HIV dan terapi ARV.
Kriteria Objektif :
Baik : Jika mampu memberikan jawaban benar ≥ 24
Kurang : Jika mampu memberikan jawaban benar < 24
c. Dukungan keluarga adalah peran serta keluarga membantu dan mendorong penderita HIV untuk patuh minum obat.
Kriteria objektif :
Baik : apabila klien menjawab YA ≥ 15
Kurang : apabila klien menjawab TIDAK < 15
d. Reaksi simpang obat adalah reaksi yang terjadi dalam masa pengobatan
kriteria objektif
Positif : apabila klien menjawab YA ≥ 7.5
Negatif : apabila klien menjawab TIDAK < 7.5
e. Pendamping adalah seseorang baik dari keluarga, LSM, teman atau petugas kesehatan yang bertugas mengawasi pasien HIV dalam menjalankan pengobatan
Kriteria objektif :
Ada : apabila klien menjawab ADA
Tidak ada : apabila klien menjawab TIDAK ADA
F. Rencana pengolahan dan analisa data
1. Instrumen pengumpulan data
Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Peneliti mengumpulkan data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuissioner dan sebagai subjek penelitian adalah penderita HIV yang memenuhi kriteria inklusi. Kuisioner yang disebarkan adalah kuisioner yang dibuat oleh peneliti sendiri, yang berisi data demografi yang terdiri dari umur, dan status perkawinan. Kemudian kuissioner tersebut juga berisikan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada variabel independent. Pertanyaan pada kuissioner ini merupakan pertanyaan dalam bentuk tertutup (closed ended questions) dimana telah disediakan jawaban alternatif, tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita dengan 15 pertanyaan dengan penilaian dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1, pendampingan yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1 dan dukungan keluarga yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala Guttman dimana jawaban ”YA” diberi nilai 2 dan jawaban ”TIDAK” diberi nilai 1. Dan reaksi simpang obat tediri dari 5 pertanyaan dengan penilaian dengan menggunakan skala Guttman dimana jawaban”YA”di beri nilai 2 dan jawaban “TIDAK”di beri nilai 1.
2. Pengolahan data
Setelah data terkumpul, dilanjutkan dengan pengolahan data secara manual. Sebelum data di analisa terlebih dahulu diadakan :
a. Editing
Setelah data terkumpul peneliti akan memeriksa kelengkapan data menurut karakteristiknya masing-masing, memeriksa kesinambungan tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita,dan dukungan keluarga.
b. Koding
Data yang telah dikumpulkan diberi kode menurut jawaban responden, baik data tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita, dan dukungan keluarga.
c. Tabulasi
Untuk memudahkan analisa data, maka data dikelompokkan ke dalam tabel kerja, kemudian data dianalisa secara statistik deskriptif melalui perhitungan persentasi dan hasil perhitungan jumlah.
3. Analisa data
a. Analisa Univariat
Untuk mengetahui dan memperlihatkan distribusi frekuensi serta presentase dari tiap variabel yang diteliti.


b. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui hubungan tiap variabel independent dan variabel dependent yang diuji dengan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan α = < 0,05. Uji statistik dengan menggunakan komputer program SPSS versi 12,0.
G. Etika penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Kepala puskesmas Ujung Pandang baru Kota Makassar untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kuissioner diberikan kepada subjek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :
1. Informed consent.
Sebelum melakukan penelitian maka akan diedarkan lembar persetujuan untuk menjadi responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan tujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya, jika subyek bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien
2. Anonimity (tanpa nama).
Menjelaskan bentuk alat ukur dengan tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data.


3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah dikumpul disimpan dalam CD dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan pembimbing.

ANTE NATAL CARE


A. Perubahan Anatomi Fisiologi pada Kehamilan

Pada kehamilan terdapat perubahan pada seluruh tubuh wanita, khususnya pada alat genitalia interna dan eksterna dan pada payudara. Dalam hal ini hormon somatomammotropin, estrogen dan progesteron mempunyai peranan penting. Perubahan yang terdapat pada wanita hamil antara lain sebagai berikut

1. Uterus

Uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama di bawah pengaruh estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini disebabkan oleh hipertofi otot polos uterus dan juga serabut-serabut kolagen yang menjadi higroskopik karena peningkatan kadar estrogen.

Berat uterus normal kurang lebih 30 gr; Pada akhir kehamilan (40 minggu) beratnya menjadi 1000 gr dengan panjang kurang lebih 20 cm dan dinding kurang lebih 2.5 cm. pada bulan pertama kehamilan bentuk uterus seperi buah alpukat, agak gepeng. Pada kehamilan empat bulan uterus berbentuk bulat. Selanjutnya pada akhir kehamilan kembali pada bentuk semula lonjong seperti telur.

Serviks uteri

Juga mengalami perubahan karena hormon estrogen. Serviks lebih banyak mengandung jaringan ikat, hanya 10 % jaringan otot. Jaringan ikat pada serviks memngandung banyak kolagen. Akibat kadar estrogen meningkat dan dengan adanya hipervaskularisasi maka konsistensi serviks menjadi lunak.

Kelenjar – kelenjar di serviks akan berfungsi lebih dan akan mengeluarkan sekresi yang lebih banyak. Kadang – kadang wanita yang sedang hamil mengeluh mengeluarkan cairan per vaginam lebih banyak. Keadaan ini sampai batas tertentu masih merupakan keadaan yang fisiologik.

2. Vagina Dan Vulva

Adanya hipervaskularisasi mengakibatkan vagina dan vulva tampak lebih merah, tagak kebiru-biruan (livide). Tanda ini disebut tanda chadwick. Warna porsio pun tampak livide

Pembuluh-pembuluh darah alat genitalia interna akan membesar. Hal ini karena oksigenasi dan nutrisi pada alat genitalia tersebut meningkat. Apabila terdapat kecelakaan pada kehamilan atau persalinan, maka perdarahan akan banyak sekali sampai dapat mengakibatkan kematian.

3. Ovarium

Pada permulaan kehamilan, masih terdapat korpus luteum graviditatis sampai terbentuknya plasenta pada kira-kira kehamilan 16 minggu. Corpus luteum graviditatis mengecil setelah plasenta terbentuk. Fungsi korpus luteum yang mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron lambat laun diambil alih oleh plasenta.

4. Mammae

Mammae akan membesar dan tegang akibat hormon somattomammotropin, estrogen dan progesteron, akan tetapi belum mengeluarkan air susu. Sensitivitas payudara bervariasi dari rasa nyeri ringan sampai nyeri yang tajam. Putting susu dan areola menjadi lebih berpigemen. Terbentuk warna merah muda sekunder pada areola, dan putting susu menjadi lebih erektil. Hipertrofi kelenjat sebasea yang muncul di areola primer dan disebut tuberkel montgomery dapat terlihat di sekitar putting susu. Kelenjar sebasea mempunyai peran protektif sebagai pelumas putting susu. Kelembutan putting susu terganggu jika lemak pelindung ini dicuci dengan sabun.

Peningkatan suplai darah membuat pembuluh darak di bawah kulit berdilatasi. Pembuluh darah yang sebelumnya tidak terlihat sekarang terlihat. Sering kali tampak sebagai jaringan biru di bawah permukaan kulit. Kongesti vena di payudara lebih jelas terlihat pada primigravida. Striae dapat terlihat di bagian luar payudara.

Selama trismester kedua dan ketiga, pertumbuhan kelenjar mammae membuat ukuran payudara meningkat secara progresif. Kadar hormon luteal dan plasenta pada masa hamil meningkatkan proliferasi duktus laktiferus dan jaringan lobullus alveolar sehingga pada palpasi payudara teraba penyebaran nodul kasar.

5. Sistem Kardiovaskular

Hipertrofi atau dilatasi lumen jantung mungkin disebabkan peningkatan volume darah dan curah jantung karena diafragma terdorong ke atas, jantung terangkat keatas dan berrotasi kedepan dan ke kiri.

Perubahan pada auskultasi mengiring perubahan ukuran dan posisi jantung. Bunyi splitting S1 dan S2 lebih jelas terdengar. S3 lebih jelas terdengar setelah minggu ke 20 gestasi.

Tekanan darah

Bervariasi sesuai dengan usia. Tekanan darah brachialis tertinggi saat wanita duduk, terendah saat wanita berbaring pada posisi rekumben lateral kiri; sedangkan pada posisi terlentang tekanan darah berada diantara kedua posisi tersebut.

6. Sistem Respirasi

Peningkatan kadar estrogen menyababkan ligamen pada kerangka iga berelaksasi sehingga ekspansi rongga dada meningkat. Kareana rahim membesar, panjang paru-paru berkurang.

Tinggi diafragma bergeser sebesar 4 cm selama masa hamil. Dengan semakin tuanya kehamilan dan seiring pembesaran uterus ke rongga abdomen, pernapasan dada menggantikkan pernapasan perut dan penurunan diafragma saat inspirasi menjadi semakin sulit.

7. Sistem Urinary

Pada bulan – hulan pertama kehamilan, kandung kemih tertekan oleh uterus yang mulai membesar sehingga timbul sering kencing. Keadaan ini hilang dengan makin tuanya kehamilan bila uterus gravidus keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan bila kepala janin ulai turun ke bawah pintu atas panggul keluhan sering kencing akan timbul lagi karena kandung kencing mulai tertekan kembali. Selain itu, terdapat pula poliuria. Poliuria disebabkan oleh adanya peningkatan sirkulasi darah di ginjal pada kehamilan sehingga GFR meningkat sampai 69%.

8. Sistem Integumen

Pada kulit terdapat deposit pigmen dan hiperpigmentasi alat-alat tertentu. Pigmentasi ini disebabkan oleh pengaruh Melanophore Stimulating Hormone (MSH). Kadang-kadang terdapat deposit pigmen pada dahi, pipi, hidung, yang dikenal sebagai kloasma gravidarum. Di daerah leher sering terdapat hiperpigmentasi yang sama juga di areola mamma. Linea alba menjadi hitam, dikenal sebagai linea grisea. Tidak jarang dijumpai kulit perut seolah-olah retak, warna berubah agak hiperemik dan kebiru-biruan disebut striae livide.

9. Sistem Muskuloskeletal

Terjadi peningkatan distensi abdomen yang membuat panggul miring ke depan, penurunan tonus otot perut, dan peningkatan berat badan pada akhir kehamilan menentukan penyesuaian ulang kurvatura spinalis. Selama trimester ketiga otot rektus abdominis memisah menyebabkan isi perut menonjol di garis tengah tubuh. Umbilikus menjadi lebih datar atau menonjol. Setelah melahirkan, tonus otot secara bertahap kembali, tetapi pemisahan otot (diastasis recti abdominis) menetap.

B. Pemeriksaan Obstetri Pada Kehamilan

Metode pendeteksian melibatkan pemeriksaan rutin sejak masa kehamilan dini. Pemeriksaan ini yang disebut sebagai Antenatal care, serangkaian tes yang dapat mendiagnosa kecenderungan bayi lahir cacat. Tes tersebut antara lain:

1. Pemeriksaan Leopold

Cara pemeriksaan menurut Leopold dibagi dalam empat tahap. Pada pemeriksaan menurut leopold I, II dan III. Pemeriksa menghadap ke arah muka wanita yang diperiksa. Pada pemeriksaan menurut leopold IV, pemeriksa menghadap ke arah kaki wanita tersebut.

Maksud pemeriksaaan Leopold I adalah guna menentukan tinggi fundus uteri. Dengan demikian, tua kehamilan dapat diketahui. Tua kehamilan ini sesuaikan dengan HPHT. Bila tidak sesuai dipikirkan ke arah keadaan patologik. Selain itu, dapat pula ditentukan bagian janin mana yang terletak pada fundus uteri. Bila kepala, akan teraba benda bul;at dan keras. Sedangkan bokong tidak bulat dan lunak. Pada Leopold II dapat ditentukan batas samping uterus dan dapat pula ditentukan letak punggung janin yang membujur dari atas ke bawah menghubungkan bokong dengan kepala. Pada letak lintang dapat ditentukan kepala janin. Pada Leopold III, dapat ditentukan bagian apa yang terletak disebelah bawah. Sedangkan leopold IV, selain menentukan bagian janin mana yang terletak di sebelah bawah, juga dapat menentukan berapa bagian dari kepala telah masuk ke dalam pintu atas panggul. Bila belum masuk, teraba balotemen kepala. Dari letak janin ini dapat didengarkan DJJ di tempat tertentu disesuaikan dengan sikap janin.

2. Tes darah

Jenis pemeriksaan ini dianjurkan dokter setelah Anda dinyatakan positif hamil. Contoh darah akan diambil untuk diperiksa apakah terinfeksi virus tertentu atau resus antibodi.

Contoh darah calon ibu juga digunakan untuk pemeriksaan hCG. Dunia kedokteran menemukan, kadar hCG yang tinggi pada darah ibu hamil berarti ia memiliki risiko yang tinggi memiliki bayi dengan sindroma Down.

3. Alfa Fetoprotein (AFP)

Tes ini hanya pada ibu hamil dengan cara mengambil contoh darah untuk diperiksa. Tes dilaksanakan pada minggu ke-16 hingga 18 kehamilan. Kadar Maternal-serum alfa-fetoprotein (MSAFP) yang tinggi menunjukkan adanya cacat pada batang saraf seperti spina bifida (perubahan bentuk atau terbelahnya ujung batang saraf) atau anencephali (tidak terdapatnya semua atau sebagian batang otak). Kecuali itu, kadar MSAFP yang tinggi berisiko terhadap kelahiran prematur atau memiliki bayi dengan berat lahir rendah.

4. Sampel Chorion Villus (CVS)

Tes ini jarang dilakukan oleh para dokter karena dikhawatirkan berisiko menyebabkan abortus spontan. Tes ini dilakukan untuk memeriksa kemungkinan kerusakan pada kromosom. Serta untuk mendiagnosa penyakit keturunan. Tes CVS ini mampu mendeteksi adanya kelainan pada janin sepKelainan jantung, paru-paru, otak, kepala, tulang belakang, ginjal dan kandung kemih, sistem pencernaan, adalah hal-hal yang bisa diketahui lewat USG.

4. Ultrasonografi (USG)

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan struktural pada janin, seperti; bibir sumbing atau anggota tubuh yang tidak berkembang. Sayangnya USG tidak bisa mendeteksi kecacatan yang disebabkan oleh faktor genetik. Biasanya USG dilakukan pada minggu ke-12 kehamilan. Pada pemeriksaan lebih lanjut USG diketahui lebih jauh cacat yang diderita janin. erti Tay-Sachs, anemia sel sikel, fibrosis berkista, thalasemia, dan sindroma Down.

5. Amniosentesis

Pemeriksaan ini biasanya dianjurkan bila calon ibu berusia di atas 35 tahun. Karena hamil di usia ini memiliki risiko cukup tinggi. Terutama untuk menentukan apakah janin menderita sindroma Down atau tidak. Amniosentesis dilakukan dengan cara mengambil cairan amnion melalui dinding perut ibu. Cairan amnion yang mengandung sel-sel janin, bahan-bahan kimia, dan mikroorganisme, mampu memberikan informasi tentang susunan genetik, kondisi janin, serta tingkat kematangannya. Tes ini dilakukan pada minggu ke-16 dan 18 kehamilan. Sel-sel dari cairan amnion ini kemudian dibiakkan di laboratorium. Umumnya memerlukan waktu sekitar 24 sampai 35 hari untuk mengetahui dengan jelas dan tuntas hasil biakan tersebut.

6. Sampel darah janin atau cordosentesis

Sampel darah janin yang diambil dari tali pusar. Langkah ini diambil jika cacat yang disebabkan kromosom telah terdeteksi oleh pemeriksaan USG. Biasanya dilakukan setelah kehamilan memasuki usia 20 minggu. Tes ini bisa mendeteksi kelainan kromosom, kelainan metabolis, kelainan gen tunggal, infeksi seperti toksoplasmosis atau rubela, juga kelainan pada darah (rhesus), serta problem plasenta semisal kekurangan oksigen.

7. Fotoskopi

Meski keuntungan tes ini bisa menemukan kemungkinan mengobati atau memperbaiki kelainan yang terdapat pada janin. Namun tes ini jarang digunakan karena risiko tindakan fetoskopi cukup tinggi. Sekitar 3 persen sampai 5 persen kemungkinan kehilangan janin. Dilakukan dengan menggunakan alat mirip teleskop kecil, lengkap dengan lampu dan lensa-lensa. Dimasukkan melalui irisan kecil pada perut dan rahim ke dalam kantung amnion. Alat-alat ini mampu memotret janin. Tentu saja sebelumnya perut si ibu hamil diolesi antiseptik dan diberi anestesi lokal.

8. Biopsi kulit janin

Pemeriksaan ini jarang dilakukan di Indonesia. Biopsi kulit janin (FSB) dilakukan untuk mendeteksi kecacatan serius pada genetika kulit yang berasal dari keluarga, seperti epidermolysis bullosa lethalis (EBL). Kondisi ini menunjukkan lapisan kulit yang tidak merekat dengan pas satu sama lainnya sehingga menyebabkan panas yang sangat parah. Biasanya tes ini dilakukan setelah melewati usia kehamilan 15-22 minggu.

C. Antenatal Care

Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari(40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dihitung dari haid pertama haid terakhir. Kehamilan dibagi dalam 3 triwulan yaitu triwulan pertama dimulai dari konsepsi samapai 3 bulan, triwulan kedua dari bulan ke 4 samapai 6 bulan, triwulan ketiga dari bulan ke tujuh sampai 9 bulan.

Kehamilan melibatkan perubahan fisik maupaun emosional dari ibu serta perubahan sosial didalamnya keluarga. Jarang ahli medik terlatih yang gegitu terlibat dalam kondisis yang biasanya normal dan sehat. Mereka mengahadapi suatu tugas tyang tidak biasa dalam memberikan dukungan pada ibu dan keluarganya dalam rencana menyambut anggota keluarga baru, memantau perubahan-perubahan fisik yang normal yang dialami ibu serta tumbuh kembang janin, juga mendeteksi serta menatalaksana setiap kiondisi yang tidak normal. Pada umunya kehamilan berkembang dengan normal dan menghasilkan kelahiran bayi sehat cukup bulan melalui jalan lahir namun kadang- kadang tidak sesuai yang diharapkan. Sulit diketahiu sebelumnya bahwa kehamilan akan menjadi masalah. Sistem penilaian resiko tidak dapat mempridiksi apakah ibu hamil akan bermasalah selama kehamilannya. Oleh karena itu pelayanan/ asuhan antenatal merupakan cara penting untuk memonitor dan mendukukesehatan ibu hamil normal dan mendeteksi ibu dengan kehamilan noramal.

Ibu hamil sebaiknya dianjurkan memngunjungi bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ibu merasa dirinya hamil untuk mendapakan pelayanan asuhan antenatal.

Tujuan Asuhan Antenatal

  • Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi.
  • Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan pisik mental, dan sosial ibu dan bayi.
  • Mengenali secara dini adanya ketidak normalan atau konplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidan dan pembedahan.
  • Mempersiapakan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, i bi maupaun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
  • Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberia asi eksklusif
  • Mempersiapkan perna ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.

Kebijakan Program

Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama kehamilan.

  • Satu kali pada triwulan pertama
  • Satu kali pada triwulan kedua
  • Dua kali pada triwulan ketiga

Pelayanan/ asuhan standar minimal termasuk ‘’ 7T”:

  • (timbang) berat badan.
  • Ukur(tekanan) darah.
  • Ukur(tinggi)pundus uteri
  • Pemberian imunisasi(tetanus toksoid) TT lengkap.
  • Pemberian tablet sat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan
  • Tes tehadap penyakit menular seksual
  • Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan

Pelayanan/ asuhan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan profesional dan tidak dapat diberikan dukun bayi.

Kebijakan Teknis

Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat. Itu sebabnya mengapa ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilanya.

Penatalaksanaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi komponen- komponen sebagai berikut:

  • Mengupayakan kehamilan yang sehat
  • Melakukan deteksi dini komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal seta rujukan bila diperlukan
  • Persiapan persalinan yang bersih dan aman
  • Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi

Penilaian Klinik

Penilaian klinik merupan proses berkelanjutan yang dimulai pada kontak pertama antara petugas kesehatan dan ibu hamil dan secara optimal berakhir pada pemeriksaan 6 minggu setelah persalinan. Pada setiap kunjungan antenatal, petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan pisik, untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterin, serta ada tidaknya masalah atau komplikasi.

Anamnesis

Riwayat

kehamilan ini

Riwayat

obstetri lalu

Riwayat

penyakit

Riwayat

sosial ekonomi

· Usia ibu hamil

· Hari pertama haid terkahir, siklus haid

· Perdarahan verpaginam

· Keputihan

· Mual dan muntah

· Masalah/ kelainan pada kehamilan sekarang

· Pemakaian obat- obat(termasuk jamu- jamuan)

· Jumlah kehamilan

· Jumlah persalinan

· Jumlah persalinan cukup bulan

· Jumlah persalinan prematur

· Jumlah anak hidup

· Jumlah keguguran

· Jumlah aborsi

· Perdarahan pada kehamilan, persalinan, nifas terdahulu

  • Berat bayi < 2,5 kg atau berat bayi > 4 kg
  • Adanya masalah- masalah selama kehamilan, persalinan, nifas terdahulu.

· Jantung

· Tekanan darah tinggi

· Diabetes mellitus

· TBC

· Pernah operasi

· Alergi obat/makanan

· Ginjal

· Asma

· Epilepsi

· Penyakit hati

· Pernah kecelakaan

· Status perkawinan

· Respon ibu dan keluarga terhadap kehamilan

· Jumlah keluarga dirumah yang membantu

· Siapa pembuat keputusan dalam keluarga

· Kebiasaan makan dan minum

· Kebiasaan merokok, menggunakan obat- obat dan alkohol

· Kehidupan seksual

· Pekerjaan dan aktifitas sehari- hari

· Pilihan tempat untuk melahirkan

· Pendidkan

· penghasilan

Pemeriksaan

Fisik umum

Pemeriksaan luar

Pemeriksaan dalam

Laboratorium

Kunjungan pertama:

  • tekanan darah
  • suhu badan
  • nadi
  • pernafasan
  • berat badan
  • tinggi badan
  • muka: edema, pucat
  • mulut dan gigi: kebersihan, karies, tonsil, paru
  • tiroid/ gondok
  • tulang belakang/ punggung: skoliosis
  • payudara: puting susu, tumor
  • abdomen: bekas operasi
  • ekstremitas: edema, varises, refleks patella
  • costevertebral angel tenderness (CVAT)
  • kulit: kebersihan/ penyakit kulit

kunjungan berikut:

· tekanan darah

· berat badan

· edema

· masalah dari kunjungan pertama

Pada setiap kunjungan:

· ukur tinggi pundus uteri

· palpasi untuk menentukan letak jani ( atau lebih 28 mgg)

· auskultasi detak jantung janin

Pada kunjungan pertama:

Pemeriksaan vulva/ perineum untuk :

  • varises
  • kondiloma
  • edema
  • hemoroid
  • kelainan lain

pemeriksaan spekulum untuk menilai:

  • serviks
  • tanda-tanda infeksi
  • cairan ostium uteri

pemeriksaan untuk menilai:

  • serviks
  • uterus
  • adneksa
  • bartholin
  • skene
  • uretra

bila usia kehamilan < 12 mgg

Kunjungan pertama:

Darah:

  • hemoglobin
  • glukosa
  • VDRL

Urin

  • Warna, bau, kejernihan
  • Protein
  • Glukosa
  • Nitrit/ LEA

Memantau tumbuh kembang janin (nilai normal)

Usia kehamilan

Tinggi fundus

Dalam cm

Menggunakan petunjuk- petunjuk

12 minggu

-

Teraba diatas simpisis pubis

16 minggu

-

Ditengah, antara simpisis pubis dan umbilikus

20 minggu

20 cm ± 2 cm

Pada umbilikus

22- 27 mingguu

Usia kehamilan dalam minggu =cm (2cm)

-

28 minggu

Usia kehamilan dalam minggu = cm(2 cm)

Ditengah, diantara umbilikus dan prosessus sifoideus

29- 35 minggu

36 cm(2 cm)

-

36 minggu

Pada prosesus sifoideus


DAFTAR PUSTAKA

Bobak,Lowdermilk,Jensen.2004.Keperawatan Maternitas.Jakarta:EGC.

Guyton. 2000. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC

http://www.conectique.com/

http://www.brooksidepress.org/

Marilyn E.Doenges.2001.Rencana Perawatan Maternal/Bayi.Jakarta:EGC

Prawirohardjo, Sarwono..2002.Ilmu kebidanan.Jakarta:YBP-SP